Kampanye yang mengajak masyarakat beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak dan mulai menggunakan kendaraan listrik terus bermunculan. Kendaraan listrik selalu diperkenalkan sebagai kendaraan yang lebih efisien dan berbiaya murah. Selain itu, memiliki potensi minim sebagai pencemar udara.
Namun demikian, kita juga perlu memahami bahwa hadirnya kendaraan listrik juga diikuti informasi perihal keuntungan dan kelemahannya terutama di Indonesia.
CEO dan Co-Founder Inovast Consulting, Adhe Anggriawan Putra mengatakan, electric vehicle (EV) merupakan kendaraan yang menggunakan aliran listrik 100%, dengan baterai elektrik sebagai sumber energi yang perlu diisi ulang. Hal inilah yang kemudian menjadi topik pembahasan mengenai upaya mencapai Net Zero Emission.
Baca Juga: Bagaimana Jadinya Kalau Sony x Honda Memproduksi Kendaraan Listrik? Tunggu Kejutannya Pada 2025
Adhe menjelaskan, keunggulan utama yang diusung oleh konsep kendaraan listrik dibandingkan kendaraan konvensional adalah rendahnya emisi karbon yang diproduksi.
"Dan juga dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sehingga ramah terhadap lingkungan," ungkap Adhe dalam laman Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), seperti dilansir pada Selasa (1/11/2022).
Dalam laman yang sama, Adhe juga mengungkap bahwa masih ada sisi gelap dari kendaraan listrik yang jarang menjadi perhatian. Yakni, bahwa label 'aman terhadap lingkungan' yang selalu dilekatkan pada EV, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Ia pun menemukan bahwa, karbon dioksida yang diemisikan oleh ICE (Internal Combustion Engine) dan EV ini jumlahnya mendekati sama.
Baca Juga: Tiga Kekurangan Kendaraan Listrik, Siapa Bilang Tanpa Polusi?
“Contohnya seperti penggunaan lithium pada komponen baterai, yang dalam proses produksinya masih membutuhkan banyak energi,” ungkapnya.
2.200 Unit EV Adalah Target Ambisius
Adhe juga menyatakan bahwa target Indonesia untuk bisa memproduksi kendaraan listrik sebanyak 2.200 unit pada 2030 adalah cukup ambisius. Mengingat, beberapa bahan baku yang harus impor dari luar negeri.
“Dengan kata lain, kita cuma berpindah dari minyak yang diproduksi oleh Amerika ke mineral dan lithium yang diproduksi oleh China, tidak ada yang berbeda,” sebut dia.
Dengan target tersebut, hal itu belum sepadan dengan apa-apa yang harus dilakukan terkait pemberlakuan kebijakan terhadap EV di Indonesia. Misalnya, rendahnya kesiapan untuk membangun stasiun pengisian untuk mobil listrik. Terlihat dengan baru adanya 240 unit stasiun pengisian ulang baterai yang tersebar di seluruh negeri.
Baca Juga: Sedang Asik Berkendara Lalu Kendaraan Terbakar? Kenali Enam Penyebabnya
"Jumlah ini termasuk sangat sedikit, sehingga menurunkan minat masyarakat terhadap adanya teknologi EV ini," terangnya.
Selain itu, hasil riset market yang dilakukan Inovast Consulting menunjukkan, ada beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai pasar yang tepat terhadap pemasaran EV.
Menurut dia, orang Indonesia lebih menyukai mobil elektrik sebagai kepunyaan pribadi ketimbang dijadikan transportasi umum. Hal ini berkaitan dengan Rise of Middle Class, yaitu tendensi dari membeli sebuah mobil listrik adalah simbol dari ekonomi statis.
Faktor berikutnya adalah biaya listrik. Harga listrik per-Kwh di Indonesia relatif lebih murah sehingga melakukan pengisian ulang baterai sebagai pengganti bensin dianggap masih terjangkau.
Dari berbagai pemaparannya, Adhe menyebut pula kalau kendaraan listrik saat ini masih menjadi lembaran putih, siapapun bisa berkontribusi.
"Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan diri untuk bisa menghadapi perkembangan yang terjadi di masa depan," tandasnya.