Pengobatan tradisional terus mendapatkan tempat di hati masyarakat, khususnya Indonesia. Penggunaan bahan-bahan alami juga telah dikaji secara ilmiah, agar optimalisasi pemanfaatannya juga dapat diketahui serta diantisipasi efek sampingnya lebih lanjut.
Kabar baik dari Indonesia, Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Dr. ret. nat. Apt. Arko Jatmiko Wicaksono, MSc mengungkap, pengobatan tradisional sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak 1400 tahun yang lalu. Hal itu terlihat dari gambar aktivitas pengobatan pada relief pahatan tembok candi Borobudur. Bukti lainnya ada pada isi kandungan kitab centhini, yang mempertegas eksistensi pengobatan tradisional, utamanya di Jawa.
“Namun di sisi lain, tidak sedikit tenaga medis yang enggan meresepkan obat herbal," ujarnya, saat menyampaikan makalah berjudul Traditional Medicine in Indonesia: Recent Progress on Its Transformation Process, kepada peserta Konferensi Internasional Pengobatan Tradisional (Traditional Medicine) yang diadakan oleh Center of Applied Thai Traditional Medicine (CATTM), Siriraj, Mahidol University, Thailand, beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, CATTM Siriraj merupakan salah satu pusat kolaborasi WHO (WHO Collaborating Center) dalam hal pengobatan tradisional. Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 10 negara yaitu Thailand, United Kingdom, Iran, Australia, China, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Indonesia, dan Hongkong.
Menurut Arko, alasan teaga medis masih banyak yang enggan meresepkan obat herbal, karena kurangnya pengetahuan mereka terkait pengobatan tradisional dan kurangnya data saintifik yang bisa dijadikan pegangan dalam praktik medisnya.
Padahal, ia mencontohkan kunyit asam, telah dikenal sebagai suplemen untuk menstruasi dan sudah ada ribuan riset terkait aktivitas farmakologisnya. Bahkan uji klinis pada manusia membuktikan, hanya ada sedikit efek samping dari penggunaan herbal kunyit.
Kendati begitu beberapa literatur mengindikasikan bahwa ternyata, kunyit sebaiknya tidak banyak dikonsumsi oleh perempuan hamil, khususnya pada awal kehamilan.
"Sebab kunyit mampu merangsang kontraksi uterus, sehingga dapat meningkatkan resiko abortus. Sebaliknya, efek memicu kontraksi uterus tersebut bisa jadi justru sangat membantu, jika digunakan pada akhir masa kehamilan untuk merangsang persalinan," tutur Pusat Kedokteran Herbal UGM ini.
Oleh sebab itu, untuk membantu tenaga medis dalam mengambil keputusan sebelum meresepkan obat herbal tradisional kepada pasien, Balai Pengawas Obat dan Makanan kemudian mengatur dan menggolongkan herbal menjadi tiga jenis. Yakni jamu yang cara pembuatan dan klaim penggunaannya berbasis data empiris; obat herbal terstandar yang khasiat dan keamanannya sudah dibuktikan melalui serangkaian uji preklinis; dan fitofarmaka yaitu herbal yang sudah teruji klinis indikasi penggunaannya.
Pada proses pembuatannya, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka sudah terstandarisasi mengikuti Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik, sebagai sebuah prosedur baku yang diakui legalitasnya sehingga kualitasnya senantiasa terjaga.
Dosen Departemen Farmakologi dan Terapi ini menambahkan, meski sudah ada proses penjaminan mutu khasiat serta keamanan herbal oleh BPOM, akan tetapi aksesibilitas dan penggunaan obat herbal sebagai obat pilihan dalam pelayanan medis masih terkendala. Semakin kuat data ilmiah suatu sediaan obat herbal, semakin mahal harga jualnya.
"Contoh Tensigard (Fitofarmaka), apabila dibandingkan dengan Amlodipin (obat kimia konvensional) harganya bisa 10 kali lipat lebih mahal, untuk indikasi medis yang sama," imbuhnya.
Menurut Arko lagi, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau biasa disebut sebagai Universal Health Coverage juga seharusnya memainkan peran penting. Sayangnya, ada aturan kontradiktif yang menyulitkan herbal untuk masuk dalam list pembiayaan oleh JKN, yakni Permenkes Nomor 54 Tahun 2018.
Dan ia menilai, untuk menyukseskan obat modern asli indonesia (OMAI) memainkan peran strategis, dalam rangka mendukung kemandirian farmasi nasional, maka aturan tersebut sangat perlu ditinjau ulang.
Selain itu, penting untuk melakukan penelitian herbal berbasis databank. Tujuannya untuk memetakan berbagai interaksi dalam sediaan herbal, baik untuk memprediksi keamanan maupun untuk menjadikannya menjadi memiliki 'boosting effect' (herbal dengan khasiat lebih manjur).
Sementara itu di Indonesia, hingga saat ini penggunaan kecerdasan buatan untuk memprediksi korelasi senyawa aktif dengan penyakit tertentu masih berupa purwarupa atau prototipe.
Ke depan pengembangan databank berbasis interaksi obat menggunakan data hasil uji preklinis dan data klinis, penting untuk dikembangkan bersama-sama. Melibatkan para ahli dibidang farmasi-kedokteran herbal, biologi molekuler, bioinformatik dan pengambil kebijakan.