Selama bulan Ramadan, ada satu kegiatan yang hanya terjadi setiap tahunnya, yaitu tradisi 'kentongan' atau tradisi membangunkan orang sahur. Hampir seluruh wilayah Indonesia melakukan tradisi ini sebagai bentuk untuk menyemarakkan bulan Ramadan.
Tradisi ini ternyata menimbulkan pro dan kontra, apalagi di era seperti sekarang.
Sejumlah pengguna media sosial sempat ribut mendebatkan tradisi ini, sejumlah di antara mereka melihat tradisi membangunkan sahur dilakukan secara berlebihan dan justru mengganggu suasana Ramadan.
Tapi sebetulnya, dari mana tradisi ini berasal? dan seperti apa sejarahnya? Coba simak penjelasan dari ahlinya, di bawah ini
Ragam Tradisi Kentongan Sahur di Indonesia
Memiliki cara yang berbeda-beda, setiap tempat juga memiliki nama berbeda-beda untuk tradisi kentongan ini.
Melansir berbagai sumber, di Jakarta tradisi ini disebut dengan ngarak beduk; di Banjarmasin disebut bagarakan sahur; namanya menjadi musik tong-tong di Madura.
Sementara itu di Gorontalo, tradisi ini punya nama koko'o; di Morowali, masyarakat menamainya dengan denga-dengo; sedangkanhadrat menjadi sebutan tradisi ini di Maluku.
Di wilayah Pantura Jawa, terutama di Cirebon dan sekitarnya, tradisi ini dikenal dengan obrok-burok; sebutan tradisi ini di Semarang dan sekitar Jawa Tengah adalah dekdukan.
Adakah Kaitan Sejarah Tradisi Kentongan dengan Timur Tengah?
Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Sarkawi B Husain, mengungkap bahwa di Jakarta tradisi ngarak beduk atau beduk sahur sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sementara di daerah Kalimantan Selatan, tradisi bagarakan sahur sudah ada sejak Islam masuk di daerah Banjar. Tradisi tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana seperti panci, galon air, atau radio.
Walaupun menurutnya belum ditemukan catatan sejarah mengenai awal mula tradisi kentongan ini, ia menduga tradisi ini ada sejak Islam masuk di Indonesia.
Kepala Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga itu menyampaikan, tradisi kentongan yang ada di Indonesia ini tidak memiliki hubungan secara langsung dengan tradisi yang ada di Timur Tengah. Masyarakat Timur Tengah memiliki tradisi sendiri dalam membangunkan orang sahur, yaitu azan.
"Namun secara tidak langsung tradisi membangunkan sahur sudah ada sejak zaman Rasulullah dengan media yang berbeda, yakni azan," kata dia, dalam keterangan resminya, dikutip dari laman Universitas Airlangga, Selasa (11/4/2023).
Demikian juga senada dengan yang disampaikan oleh Ketua Forum Humas (Forhumas) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), Hayatul Islam, di laman Kementerian.
Tidak cuma di Indonesia, ternyata inisiatif yang tergerak dan dirawat kultur warga untuk saling peduli saat Ramadan itu juga berlaku di berbagai belahan dunia, menurut Hayatul.
Dalam Rihlah Ibnu Bathutah (1829), petualang bernama lengkap Muhammad Bin Abdullah Bin Bathuthah menyebutkan, meski tidak dijumpai dalam riwayat zaman Nabi Muhammad Saw, namun, tradisi serupa sudah ramai sejak abad pertengahan.
"Menurut Ibnu Bathutah, Jika datang waktu sahur, muazin mengumumkan datangnya waktu sahur dari atas shauma'ah yang berada di sudut timur Masjidil Haram. Ia berdiri sembari mengingatkan penduduk Mekkah akan datangnya waktu sahur," jelasnya.
Begitu pula di Kuwait dan Mesir, tradisi membangunkan sahur dikatakan mulai semarak era Dinasti Abbasiyah. Selain seruan muazin, ada juga tradisi menggunakan dentum meriam seperti yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan Mamluk pada 865 Hijriah, imbuhnya.
Tradisi Membangunkan Sahur di Era Alarm Gadget
Tradisi kentongan dalam membangunkan orang sahur ini menciptakan respons dari berbagai masyarakat.
Dalam pandangan Dosen Ilmu Sejarah UNAIR, Sarkawi B Husain, tradisi kentongan sahur ini masih relevan hanya di beberapa tempat, salah satunya adalah desa atau kampung. Tempat tersebut masih relevan dalam menerapkan tradisi kentongan sahur, karena faktor homogenitas penduduk dan teknologi.
"Bagi masyarakat yang homogen seperti di desa atau kampung, tentu ini masih sangat relevan. Apalagi di kampung, tentu masih ada keluarga yang tidak memiliki teknologi seperti HP yang dapat digunakan untuk alarm," jelas Sarkawi.
Namun, tradisi ini dapat mengusik ketenangan masyarakat non-muslim. Mereka terpaksa harus bangun lebih pagi dari pada biasanya karena suara bising yang mereka dapatkan.
"Bagi masyarakat non-muslim tentu ini agak mengganggu, karena terpaksa terbangun akibat suara bising, padahal mereka tidak hendak sahur," ungkap Sarkawi.
Sementara menurut kajian dari Ketua Forum Humas (Forhumas) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), Hayatul Islam, memasuki zaman modern seperti sekarang, sejumlah negara muslim masih mengadopsi tradisi serupa.
Sebut saja Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Turki, dan beberapa negara lainnya. Bahkan, hal ini juga ditemukan di India, yang notabene Islam bukan merupakan agama yang dianut mayoritas penduduk di dalamnya.
Di India, tradisi itu dilakukan seorang seheriwalas atau zohridaars. Mereka berkeliling di sekitar rumah rumah warga dengan melantunkan pujian kepada Allah SwtSWT dan Nabi Muhammad SAW. Pada pukul 02.30 waktu setempat, seheriwalas mulai berkeliling lengkap dengan membawa tongkat tuanya.
Tak Relevan Lagi di Wilayah Multietnis, Multiagama dan Multikultural
Tetapi Hayatul tak menampik, kalau tradisi luhur dan unik ini tidak sepenuhnya nol potensi penyalahgunaan, hingga mengakibatkan kerugian bagi sebagian kelompok masyarakat lainnya. Terlebih, di dalam negara dengan komposisi penduduk yang multietnis, multiagama, dan multikultural, seperti di Indonesia.
Tradisi membangunkan sahur, di beberapa kasus justru disambut keluhan sebagian masyarakat, bukan sekadar oleh non muslim, tetapi juga oleh sesama muslim.
"Karena dilaksanakan tanpa menimbang tujuan mulia yang mulanya menjadi dasar dari tradisi tersebut," kata dia.
Ia mencontohkan misalnya, menyalakan atau memainkan musik dengan volume terlampau keras, membangunkan sahur terlalu cepat dan tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, atau tradisi berkeliling itu disertai dengan teriakan-teriakan yang mengganggu dan meresahkan.
Sehingga ia menilai, agar tradisi membangunkan sahur juga dilakukan dengan tetap berpakem pada Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) Nomor 05 Tahun 2022, yang mengatur segala hal ihwal terkait pengeras suara rumah ibadah. Selain itu, tetap berpegang pada nilai-nilai toleransi yang menjadi asas utama dalam prinsip kebangsaaan Indonesia.