Pemerintah Korea Selatan menawarkan program tunjangan kepada anak muda, dengan rentang umur 9 hingga 24 tahun. Tunjangan itu berkisar senilai 650.000 won atau sekitar Rp7,3 juta setiap bulan. Diberikan bagi mereka anak-anak muda yang tertutup bahkan mengisolasi diri mereka dalam rumah.
Laman Dazed mengungkap, mereka juga mendapatkan dukungan dalam pekerjaan, kesehatan, dan juga pendidikan. Kebijakan itu juga akan membantu mereka membayar operasi kosmetik tertentu, misalnya seseorang yang memiliki bekas luka yang membuat mereka enggan untuk bertemu orang lain.
"Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang dikenal di Korea Selatan dengan istilah 'hikikomori' dalam bahasa Jepang; yang secara harfiah diterjemahkan sebagai menarik kembali dan berarti penarikan sosial," tulis Dazed, kami lansir pada Rabu (19/4/2023).
Istilah ini belum memiliki memiliki konsep dan pengertian yang sama di beberapa negara, meskipun istilah itu seperti kombinasi gangguan agorafobia dan akronim 'NEET' (bukan dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan).
Pada dasarnya, dengan istilah itu berarti kalian jarang atau tidak meninggalkan rumah, untuk alasan apapun. Sementara 'hikikomori' dimulai sebagai fenomena khusus untuk Jepang, itu mulai muncul di berbagai negara di seluruh dunia, sebuah tren yang diperburuk oleh pandemi dan cara internet telah mengurangi kebutuhan akan komunikasi tatap muka.
Menurut laman Scientific American, Hikikomori adalah perkembangan terbaru di negara-negara Barat, dengan sebagian besar penelitian epidemiologis tentang hikikomori telah dilakukan di negara-negara Asia.
Sebuah studi pada 2010 memperkirakan bahwa 1,2% populasi Jepang adalah hikikomori. Sedangkan survei pada 2015 menemukan 2,6% prevalensi hikikomori di Hong Kong.
Hikikomori awalnya dianggap sebagai sindrom yang terikat budaya; namun, sejumlah laporan kasus yang memprihatinkan telah dipublikasikan di berbagai negara seperti Spanyol, Korea Selatan, dan Nigeria. Dua laporan kasus orang Amerika dengan hikikomori telah dilaporkan dalam dekade terakhir dan sebuah survei yang dilakukan oleh para peneliti di University of Buffalo menemukan bahwa 2,7% sampel mahasiswa Amerika telah menjadi hikikomori di masa lalu.
Kembali ke Korea Selatan, menurut Institut Kesehatan dan Urusan Korea, isolasi sosial ekstrem semacam ini dialami oleh 350.000 orang di Korea berusia antara 19 dan 39 tahun, atau sekitar 3% dari kelompok usia tersebut. Selain itu, di Korea Selatan, ada sebutan bagi siapa pun yang tetap terisolasi setidaknya selama tiga bulan yaitu 'oiettolie', tautannya lebih mapan.
Sebuah studi pada 2013 terhadap 43 oiettolie menemukan, hampir satu dari sepuluh sudah dianggap kecanduan internet, dan lebih dari 50% dianggap berisiko tinggi kecanduan internet.
Seorang peneliti di Universitas Katolik Daegu, TaeYoung Choi, telah meneliti ini. Ia tidak berpikir teknologi menjadi penyebab utama penarikan secara sosial. Tetapi ia berpikir itu dapat mendukung dan memperdalamnya.
"Beberapa orang bisa lebih terisolasi dengan menggunakan teknologi, yang membuat isolasi itu lebih kaku dan lebih parah," kata TaeYoung Choi, yang juga seorang psikiater itu.
Seringkali masalah ini dimulai pada masa remaja atau anak usia dini, dan orang yang terkena dampak berasal dari latar belakang yang kurang beruntung. Ada juga hubungan antara 'hikikomori' dan berbagai penyakit mental dan kejadian traumatis.
Seorang anak muda, dikutip dalam sebuah studi kasus yang diterbitkan oleh pemerintah, berkata, ketika ia berusia 15 tahun, kekerasan dalam rumah tangga membuat ia sangat tertekan. Sehingga anak muda itu mulai hidup dalam pengasingan.
"Orang yang lesu yang sering tidur atau tidak punya pilihan selain makan saat lapar dan kembali tidur," kata si responden.
Yang lainnya, mengutip masalah seperti kebangkrutan keluarga.
Jadi mengapa ini menjadi masalah? Kaum muda di Korea Selatan menghadapi tantangan yang sama seperti rekan-rekan mereka di negara maju di seluruh dunia. Termasuk kurangnya perumahan, kesempatan kerja yang langka, dan upah yang stagnan.
Namun Korea Selatan juga memberikan beberapa tantangan yang lebih spesifik. Di negara yang menjunjung tinggi keberhasilan konvensional, kaum muda harus berhadapan dengan ekspektasi tinggi dari keluarga mereka. Selain itu juga salah satu sistem pendidikan paling penuh tekanan dan kompetitif di dunia, dengan sedikit waktu untuk kegiatan rekreasi.
Sejalan dengan itu, Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri tertinggi dari setiap ekonomi maju. Menghadapi tekanan yang begitu kuat, tidak mengherankan jika begitu banyak anak muda ingin keluar dari masyarakat, dengan satu atau lain cara.
Sebagai informasi tambahan, Korea Selatan memiliki tingkat pengangguran kaum muda yang relatif tinggi yaitu 7,2% dan saat ini menghadapi penurunan dramatis dalam tingkat kelahiran. Tahun lalu, Korea Selatan menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki tingkat kesuburan di bawah satu, yang berarti bahwa wanita rata-rata memiliki '0,78' anak.
Pemerintah berharap tunjangan Rp7,3 juta itu akan membantu mengatasi masalah ini, dengan mendorong masyarakat kembali ke sekolah, universitas atau bekerja.