Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan penggoda ulung yang pandai memikat hati siapa saja yang datang berkunjung. Kesederhanaan, keramahan, seni dan budaya, kuliner hingga ritme hidup yang berbeda dan khas menjadi alasan pengunjung dibuat jatuh cinta olehnya.
Meski demikian, beragam kondisi kegentingan tak jarang menimpa masyarakat kota ini. Seperti Gempa 2006, Erupsi Merapi 2010, Referendum 2010, hingga isu hangat bentrokan massa akhir akhir ini. Tajuk 'Yogya Bersatu Tak Bisa Dikalahkan' acapkali mencuat pada kondisi krisis tersebut.
Oleh sebab itu, menilik dan membedah akar dari tajuk tersebut menjadi menarik untuk ditelusuri. Gagasan Indonesia berkolaborasi dengan Lakoni Indonesia menghadirkan Artkringan Festival, sebagai manifestasi dari meleburnya konsep angkringan dan kesenian dengan mengangkat isu lokal sebagai pijakan.
Gagasan Indonesia berkolaborasi dengan Lakoni Indonesia menghadirkan Artkringan Festival, sebagai manifestasi dari meleburnya konsep angkringan dan kesenian dengan mengangkat isu lokal sebagai pijakan.
Baca Juga: Dapatkah Artificial Intelligence Memahami Proses Alam?
Membahas stigma terhadap Yogyakarta, Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada 2021, Muhammad Farhan, menyadari 'framing' atas Yogyakarta cenderung berkesan negatif di media sosial. Namun, realitanya justru berbanding terbalik.
"Yogyakarta masih kental dengan unsur kemanusiaannya dan budaya menjadi faktor pemersatu masyarakat lokal yang harus terus diberdayakan oleh orang muda," ungkap Farhan, dalam keterangan yang diterima Techverse.Asia, Senin (19/6/2023).
"Kita sebagai pemuda harus bertahan untuk menyerang, dalam artian dibutuhkannya kolaborasi di luar Yogyakarta, untuk menyampaikan identitas dan jati diri kita agar tidak lagi menimbulkan konflik sosial," ujarnya.
Lebih lanjut, seorang Seniman dan Pemerhati Budaya Yogyakarta, Ki Herman Sinug, menambahkan bahwa tajuk Yogya bersatu bukanlah sebuah kurva tertutup, melainkan terbuka untuk seluruh etnis dan latar belakang.
Atmosfer kesejukan Yogyakarta, menurut dia, sejatinya telah hadir sejak sejarah awal berdirinya kota ini. Dan dalam lima tahun terakhir terjadi adanya pergeseran interaksi sosial, dari kebiasaan ramah tamah antar warga menjadi tidak mengenali satu sama lain.
"Pergeseran tersebut diakibatkan semakin pesatnya industri kos-kosan dan apartemen untuk memenuhi pasar pendatang," terangnya.
Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, Ki Herman Sinug menyampaikan usulan agar modal sosial Yogyakarta bersatu tak bisa dikalahkan diaplikasikan dimulai dari tingkat RT terlebih dahulu.
Dosen PSDK Fisipol UGM, Pinurba Pratama, menekankan kepemilikan Yogyakarta yang bukan hanya untuk putra daerah saja, melainkan untuk semua. Oleh karena itu, perlu adanya penyeimbang dua kutub untuk hidup berdampingan secara kolektif. Ia juga menegaskan pentingnya peran kampus sebagai mediator dan katalisator bagi mahasiswa agar dapat mengenalkan nilai-nilai sosial Yogyakarta.
Dari sudut pandang Aktivis Pemuda dan Lingkungan, Ragil Sempronk, merespon bahwa Yogya secara historis merupakan kota yang terbuka bagi para pendatang yang tidak meninggalkan identitasnya daerahnya. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, tajuk 'Yogja bersatu tak bisa dikalahkan' nyatanya mengalami pergeseran makna.
"Dulu masyarakat dan pendatang aktif melebur melalui gotong royong, tapi saat ini sifat individualisme cenderung lebih dominan", ujarnya. Meski demikian, tajuk tersebut masih memiliki kekuatan hingga saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dari dikenalnya Yogya sebagai wilayah dengan pemulihan bencana tercepat.
Baca Juga: Rekomendasi Event Wisata di Kabupaten Sleman Selama 2023, Kamu Bisa Ikut Gabung
Baca Juga: Kabupaten Sleman Siap Menyambut Kamu Melancong, 2023 Banyak Event!
Media Communication Officer Gagasan Indonesia, Sandha Valeri, menerangkan, Artkringan Festival telah berlangsung pada Sabtu (17/6/2023) di Kebon Ndeso Wonorejo, Wonorejo, Kalurahan Sariharjo, Kapanewon Ngaglik, Kabupaten Sleman. Melibatkan tokoh-tokoh prominen, baik itu dari kalangan pegiat seni budaya, penggerak komunitas serta aktivis.
Sandha menyebutkan, acara ini bertujuan untuk memandang perhelatan politik 2024 yang rawan akan isu identitas serta berpotensi dapat memecah belah grass root masyarakat Yogyakarta.
Terdapat pula komunitas-komunitas yang tergabung dalam acara Roadshow Gagasan Indonesia, yakni GMNI, Ngopi Budaya Kotagede, Sarekat Remadja Karsa Kotagede, KT Unit Wonorejo, Kapstra Fisipol UGM . Acara ini dihadiri oleh ratusan pemuda Yogyakarta dari berbagai kalangan.
Gagasan Indonesia merupakan ruang temu bagi pemuda untuk mendorong politik berbasis gagasan, dan memiliki visi untuk menjembatani kontribusi pemuda yang bermakna bagi Indonesia.