Techverse.asia - Setelah satu dekade lamanya sejak filmnya yang berjudul The Wind Rises (2013), kini para penggemar film Studio Ghibli, khususnya karya Hayao Miyazaki bisa melihat kembali dunia fantasi buatannya melalui film The Boy and The Heron. Ya, film ini sudah tayang di seluruh bioskop di Indonesia pada 13 Desember.
The Boy and The Heron dibuat Hayao yang terinspirasi dari sebuah novel tahun 1937 berjudul How Do You Live? karya Genzaburo Yoshino. Bahkan buku tersebut adalah salah satu buku favorit Hayao Miyazaki.
Sinopsis film ini mengisahkan Mahito Maki harus kehilangan ibunya yang tewas akibat kebakaran di rumah sakit tempat sang ibu bekerja. Dalam teaser trailernya ditampilkan kejadian tersebut terjadi ketika Perang Dunia (PD) II. Alhasil, dia bersama ayahnya, Shoichi terpaksa pindah ke desa lain sebagai tempat tinggal mereka yang baru.
Rupanya di tempat tinggal barunya, Shoichi sudah menikah dengan perempuan lain bernama Natsuko yang kelak menjadi ibu tiri dari Mahito. Mahito pun tinggal bersama Natsuko, dan di dekat rumah mereka terdapat sebuah kastil yang sudah lama terbengkelai. Kastil ini memiliki sebuah menara yang tinggi.
Selain itu, Mahito juga bertemu dengan seekor burung cangak abu. Mahito pun kaget karena ternyata cangak abu tersebut dapat berbicara seperti manusia. Burung ini juga yang menarik perhatiannya dan mengajak Mahito untuk memasuki kastil tersebut dengan mengatakan bahwa ibunya masih hidup.
Baca Juga: Ayok Tengok Kantor Yubaba Di Ghibli Park, November Mendatang
Awalnya Mahito enggan menuruti omongan cangak abu itu untuk diajak masuk ke dalam kastil, tapi akibat kejadian misterius di mana Natsuko yang sedang hamil tiba-tiba menghilang, maka mau tidak mau Mahito berupaya untuk mencari ibu tirinya tersebut.
Setelah Mahito masuk ke dalam menara dan bertemu pula dengan cangak abu itu, lantas cerita The Boy and The Heron berkembang menjadi sebuah petualangan ke dunia lain yang menakjubkan, bahkan sering kali mengejutkan audiens. Alur seperti ini sama persis dengan film Hayao lainnya yang berjudul Spirited Away (2001).
Selama kurang lebih dua jam saya menonton film ini di bioskop, satu jam awal terasa cukup lambat, walau penonton akan disuguhkan dengan animasi khas Studio Ghibli, tapi terasa agak bertele-tele. Setelah memasuki satu jam terakhir, penonton baru akan merasakan perjalanan Mahito di dunia lain yang mengajarkannya arti kehidupan, kematian, dan penciptaan yang menemukan awal baru.
Jadi menurut saya, meski film ini boleh ditonton oleh anak-anak yang usianya minimal 13 tahun, The Boy and The Heron menyimpan pesan yang mendalam dan dirasa sulit buat dipahami oleh orang anak-anak serta orang yang awam dengan film-film Studio Ghibli.
Dan kalau disandingkan dengan buku How Do You Live?, sebenarnya perjalanan Mahito ini tak sepenuhnya menggambarkan kehidupan pribadi Hayao, dia hanya memakai elemen yang sama di mana ayahnya merupakan seorang direktur dari Miyazaki Airplane.
Baca Juga: Film How Do You Live? Garapan Hayao Miyazaki Akan Hadir di Bioskop IMAX, Plot Dirahasiakan
Saat itu, perusahaan tersebutlah yang memproduksi pesawat tempur Jepang saat PD II berlangsung. Dalam filmnya, Hayao juga sedikit menyelipkan beberapa kaca kokpit pesawat tempur yang dibuat oleh Shoichi.
Sedangkan, untuk karakter cangak abu menyuguhkan nuansa komedi yang mampu membuat penonton tertawa berkali-kali, jadi ini adalah nilai plus. Tapi sayangnya, cangak abu yang digambarkan sebagai karakter sentral dalam film ini hanya menjadi teman perjalanan Mahito di dunia fantasi tersebut, tidak ada peran yang cukup berarti.
Beberapa karakternya lainnya seperti Himi, The Parakeet King, Wara Wara, hingga kakek buyut Mahito pun tak mendapat cukup waktu untuk dieksplorasi lebih jauh, sehingga membuat penonton bingung dan harus menerka-nerka apa kaitannya semua karakter ini dengan cerita Mahito.
Kekurangan lainnya adalah Hayao membuat babak kedua The Boy and The Heron tergesa-gesa, sehingga ada sejumlah hal yang tak sempat dijelaskan seperti apa yang membentuk dunia lain tersebut, faktor apa yang membuat Mahito mendadak mau menganggap Natsuko sebagai ibunya, dan konsep tinggi keilahian kakek buyut Mahito.
Kesimpulannya narasi yang dibuat The Boy and The Heron sulit untuk dicerna karena kekurangan dari poin-poin tersebut meski dapat disatukan secara kohesif. Jadi bagian akhir filmnya terasa tidak memuaskan.
Hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah scoring karya Joe Hisaishi. Musiknya mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menangkap suasana setiap adegan, baik itu tegang, melankolis, atau momen kebahagiaan yang langka di antara para pemain.
Baca Juga: Review Film Napoleon: Miskonsepsi Perang Antara Negara-negara Besar