Temuan terbaru Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), menunjukkan bahwa, 1 dari 20 (5,5 persen) atau 2,45 juta remaja terdiagnosis mengalami masalah gangguan mental. Temuan berikutnya, 1 dari 3 (34,9 persen) atau 15,5 juta remaja memiliki satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Baca Juga: Teman Pendiam Itu Terkadang Wajahnya Tenang, Benaknya Bergelombang Dan Kepalanya Berisikan Badai
I-NAMHS juga mengungkap, meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke pelbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka.
Menurut penelitian itu pula, hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling, untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir.
Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka.
Menanggapi itu, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Margaretha SPsi PGDipPsych GCertEd MSc menjelaskan, ada perbedaan antara gangguan mental dan masalah kesehatan mental.
Gangguan mental adalah apabila remaja memenuhi seluruh kriteria klinis yang dimaksud sebagai gangguan.
Sementara itu, remaja yang tidak memenuhi kriteria tersebut namun memunculkan beberapa persoalan, maka remaja ini memiliki masalah kesehatan mental.
Baca Juga: Menjaga Kesehatan Mental Saat Hadapi Tekanan Kiri Kanan: Cukup Tidur Dan Jangan Lupa Makan
“Jadi bedanya, antara kita sebut sebagai gangguan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) itu kalau sudah full klinis. Tapi kalau masih separuh, kita sebut masalah kecemasan,” ujarnya, dikutip dari laman Universitas Airlangga, Rabu (9/11/2022).
Menurut Margaretha, permasalahan kesehatan mental remaja harus mendapat perhatian serius. Apalagi terjadi peningkatan jumlah masalah kesehatan mental pada remaja akibat pandemi Covid-19.
Ia mengungkap, usia remaja merupakan masa transisi menuju kehidupan dewasa. Terdapat jenis gangguan kesehatan mental yang umumnya mulai muncul pada remaja rentang usia 15 hingga 18 tahun. Mulai dari yang menyangkut persoalan orientasi seksual sampai gangguan kepribadian.
“Saat masa transisi, memang secara khas ada pergolakan jadi kalau punya masalah tersamarkan dengan proses pergolakan tersebut," terang dosen psikologi klinis tersebut.
"Nah, akhirnya yang benar-benar punya persoalan kesehatan mental atau gangguan kesehatan mental tidak tertolong dan berkembang menjadi masalah yang lebih berat,” imbuh dia.
Selain faktor usia dan pandangan orang kebanyakan, -yang menganggap remaja tidak memiliki masalah dibandingkan orang dewasa-, mereka juga terbatas dalam mengakses layanan kesehatan mental. Karena mereka masih bergantung pada orang tua.
"Di sisi lain, banyak orang tua yang kurang peka bahkan tidak memberikan bantuan," ujarnya.
Melihat pada kondisi tersebut, maka peran keluarga sebagai tempat perlindungan anak yang utama haruslah berjalan. Hal itu juga harus seiring dengan kesadaran dan kepedulian orang tua, terhadap isu kesehatan mental remaja.
Ketika keluarga tidak mampu menjalankan peran tersebut, maka sekitar 20% dari keluarga akan mencari bantuan di sekolah, tempat ibadah, serta komunitas. Demikian yang kemudian dibeberkan dalam riset temuan riset I-NAMHS.
Bukan hanya peran orang tua, sekolah juga harus meningkatkan literasi kesehatan mental kepada pendidik. Selain itu juga menyediakan layanan seperti pelajaran pengelolaan stres, serta tidak perlu ragu merekomendasikan siswa ke pihak profesional, apabila penanganan anak tersebut berada di luar kemampuan sekolah.
"Kalau kita (orang tua dan pendidik) bisa membantu menurunkan jumlah remaja gangguan mental, tentu saat dewasa kita juga mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk mencari pengobatan dan menciptakan masyarakat yang lebih produktif,” tandasnya.