Unicef mengidentifikasi bullying (perundungan) lewat tiga karakteristik, yaitu niat; pengulangan; dan kekuatan. Pelaku bullying bermaksud menimbulkan rasa sakit, baik melalui luka fisik atau kata-kata atau perilaku yang menyakitkan. Pelaku bullying melakukannya berulang kali secara sengaja dan berulang-ulang, didukung dengan adanya perbedaan kekuasaan.
Seorang pelaku bullying memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korbannya. Baik menyakiti fisik atau kata-kata atau perilaku yang menyakitkan. Unicef juga menyebut, anak laki-laki lebih mungkin mengalami bullying fisik, sedangkan anak perempuan lebih mungkin mengalami bullying secara psikologis, walaupun jenis keduanya tentu cenderung saling berhubungan.
Bullying adalah pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang melakukan bullying biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi. Misalnya anak-anak yang punya tubuh lebih besar dibanding teman-temannya, lebih kuat, atau dianggap populer. Sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.
Anak-anak pelaku bullying cenderung membutuhkan bantuan untuk belajar mengelola kemarahan dan sakit hati, frustrasi, atau emosi kuat lainnya. Mereka mungkin tidak memiliki keterampilan yang mereka butuhkan untuk bekerja sama dengan orang lain.
Satu hal lain yang disayangkan adalah, sejumlah anak menjadi pelaku bullying karena meniru apa yang mereka lihat di rumah. Baik itu yang dilakukan antara kakak dan adik, atau bullying yang terjadi di antara orang tua mereka, potensi lain yakni melihat kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak-anak. Sehingga, sebagai orang tua, kita perlu berhati-hati dengan cara mengelola emosi dan berperilaku di hadapan anak-anak.
Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan sebagai orang tua, agar anak-anak tidak menjadi seorang pelaku bullying. Sejumlah cara ini bisa kita coba
Kenalkan perbedaan
Kenalkan anak-anak dengan beragam perbedaan yang ada di tengah mereka. Baik itu perbedaan fisik, agama, suku, ras, antar golongan, status ekonomi, latar belakang orang tua bahkan cara berpikir dan berpendapat.
Berikan pengertian bahwa, perbedaan itu bukan kemudian menjadi alasan pembenaran mereka menyakiti orang lain. Melainkan ajari anak menerima perbedaan sebagai keragaman yang bisa membuat interaksi antar teman menjadi lebih berwarna.
Ajari mereka juga bila ada teman yang memiliki kekurangan dalam bidang tertentu, -misalnya kerap mendapat nilai jelek di kelas-, tidak perlu dihina atau diolok. Karena bisa saja, teman tersebut memiliki kelebihan di bidang lain. Maka ketimbang menghina kekurangan teman tersebut, lebih baik mengapresiasi atau memuji kelebihan yang dimiliki.
Kenalkan cara berkomunikasi tanpa memaksakan kehendak
Anak perlu diajari cara berkomunikasi dengan baik dan memperlakukan teman dengan baik pula, tanpa harus menyenangkan semua temannya. Misalnya, ketika anak-anak kira memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada temannya, maka sampaikanlah kepada teman secara sopan. Tanpa menggunakan intonasi tinggi atau kalimat yang kasar.
Kemudian, apabila ada perbedaan pendapat atau kesukaan, bisa menjadi bahan obrolan menarik. Bukan untuk kemudian memaksa, agar teman mereka harus memiliki pendapat atau kesukaan yang sama dengan dirinya.
Kenalkan konsep baik dan buruk
Mengenalkan konsep baik dan buruk menjadi salah satu hal yang bisa dilakukan kepada anak. Selain itu, mereka juga perlu mengetahui konsekuensi dari tindakan tersebut.
Misalnya saja mencuri. Beritahu mereka bahwa mengambil apa yang bukan hak mereka adalah hal buruk. Ketika anak melakukan tindakan itu, berarti mereka telah membuat temannya sedih karena kehilangan barang berharga. Selain itu, mencuri membuat mereka dikenal sebagai anak yang punya sikap negatif di hadapan orang lain.
Bicara tentang apa itu bullying
Secara langsung dari hati ke hati, beritahu anak tentang definisi dan contoh bullying serta efek buruk dari bullying. Baik itu efek terhadap diri mereka maupun teman-teman korban bullying.
Berdiskusilah dengan anak-anak tentang aktivitas mereka di setiap hari. Agar sebagai orang tua, kita bisa mengetahui bagaimana hubungan anak bersama teman-temannya, saat berada di luar jangkauan mata. Atau, kita bisa mengetahui ada tidaknya orang-orang di sekitar anak (atau mungkin anak kita sendiri) yang berpotensi menjadi pelaku bullying. Sekaligus di momen itu, kita bisa memberikan pengertian mengenai cara berteman tanpa menyakiti orang lain.
Bantu anak menggali potensi
Bantu anak untuk mengikuti beragam kegiatan positif yang membantu anak menggali potensi mereka. Dengan demikian, mereka punya aktivitas menguntungkan dirinya sekaligus menghindarkan anak dari perilaku negatif.
Dengan mengikuti beragam kegiatan, anak kita bisa mengenal lebih banyak anak lain dengan perbedaan yang tentunya lebih beragam pula. Selain itu, anak-anak mampu membangun kepercayaan diri mereka.
Kalau sudah begitu, maka anak-anak menjadi paham, bahwa menjadi istimewa dan percaya diri bukan dengan cara membully teman.
Perhatikan aktivitas anak di dunia maya
Generasi kekinian sangat dekat dengan gadget. Maka, kontrol orang tua terhadap aktivitas anak-anak di dunia maya diperlukan. Salah satunya, menjadi teman diskusi anak dalam memfilter konten apa yang boleh dan tidak boleh dilihat.
Jika mereka terhubung dengan aktivitas yang mengenalkan mereka soal bullying, berikan pengertian soal efek yang akan dihadapi bila anak kita menjadi pelaku bullying.
Bantu anak membangun empati
Walau kelihatannya sederhana, mengajarkan anak soal bagaimana menjadi orang yang punya empati terkadang terlupakan oleh orang tua. Orang tua lebih fokus mendidik anak menjadi 'anak yang baik'.
Ketimbang terus mengarahkan dan mengoreksi, cobalah menjadi orang tua yang mendengarkan dan belajar mengenal anak-anak dari cerita mereka.
Very Well Family menyarankan agar kita membantu anak mengenali dan mengelola emosi mereka.
Kenalkan anak cara mengenali perasaan mereka, setelah mereka dirasa telah mampu mengenali perasaan diri sendiri, secara bertahap ajarkan anak untuk mengidentifikasi perasaan orang lain.
Semoga anak kita jauh dari perilaku bullying ya.