Kamu baru saja kehilangan pekerjaan karena gelombang pemutusan hubungan kerja dan tak memiliki sampingan. Kemudian, kamu menemui seorang teman untuk berbagi cerita dan keluhan dari yang kamu rasakan. Lalu, temanmu berkata "Lihat sisi baiknya, coba kamu cari hikmah dari pemecatan itu,".
Meskipun komentar semacam itu sering dimaksudkan untuk bersimpati, komentar tersebut dapat menutup apapun yang mungkin ingin kamu katakan tentang apa yang kamu alami dan rasakan. Itulah contoh toxic positivity.
Berpikir dan bersikap positif tentu saja diperlukan dalam kehidupan. Namun, jangan sampai berlebihan. Mengapa? Karena bisa menimbulkan toxic positivity
Laman Very Well Mind mendefinisikan toxic positivity sebagai keyakinan bahwa tidak peduli seberapa buruk atau sulitnya suatu situasi, orang harus mempertahankan pola pikir positif.
Toxic positivy pada orang lain bisa juga kita lakukan secara tidak sadar melalui saran-saran positif yang diberikan. Tidak selamanya kata positif yang diberikan sesuai dengan permasalahan yang tengah dihadapi. Salah-salah bisa membuat lawan bicara merasa tidak dihargai. Kemudian dinilai sebagai sikap meremehkannya.
Kenapa Toxic Postivity Berbahaya?
Memiliki pandangan hidup yang positif baik untuk kesejahteraan mental kita, itu benar. Tetapi yang perlu kita sadari adalah, hidup tidak selalu positif. Kita semua memiliki emosi dan pengalaman yang menyakitkan.
Emosi-emosi tersebut, meskipun seringkali tidak menyenangkan, perlu dirasakan dan ditangani secara terbuka dan jujur untuk mencapai penerimaan dan kesehatan psikologis yang lebih baik.
Efek Toxic Positivity
- Ketika kamu terus-menerus membiarkan toxic positivity hadir di benakmu, baik dari dalam dirimu ataupun kamu terima dari orang lain, maka perasaan itu akan membuatmu berpikir bahwa, emosi yang kamu rasakan itu tidak dapat diterima.
Padahal, ketika kamu menderita atau mendapatkan pengalaman buruk, kamu perlu tahu bawah emosimu itu valid. Kamu butuh cinta dan penerimaan dari sekitarmu, bukan orang yang menyangkal. Selalu mendapatkan penyangkalan akan membuatmu malu pada diri sendiri dan mengerdilkan apa yang kamu rasakan.
- Toxic positivity dapat menyebabkan perasaan bersalah, gagal dan tidak nyaman. Bukannya menerima, menginternalisasi dan mengolahnya untuk bisa kelola, kamu justru menyangkalnya.
Menyangkal akan membuatmu semakin tertekan. Kamu memaksa diri untuk meyakinkan bahwa kamu baik-baik saja, di tengah kondisimu yang tidak baik-baik saja.
- Saat kita tidak ingin menunjukkan sebagian dari diri kita, kita membuat wajah palsu.
Ketika kita bersembunyi seperti itu, kita menyangkal kebenaran dan emosi kita. Kebenaran tentang hidup terkadang bisa menyakitkan. Sampai kapan menggunakan wajah palsu dalam keseharianmu?
- Menyangkal hadirnya emosi negatif dalam jangka panjang, justru bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan mental. Mulai dari stres berat atau depresi, cemas, sedih yang berkepanjangan, gangguan tidur, gangguan makan, penyalahgunaan obat terlarang, hingga Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Sebuah riset yang dilakukan dengan studi kelompok soal efek toxic positivity, dipublikasikan dalam thepsychologygroup.com. Peneliti membagi peserta uji coba ke dalam dua kelompok dan diperlihatkan film prosedur medis yang mengganggu. Selama masa uji, respons stres mereka diukur (misalnya, detak jantung, pelebaran pupil, produksi keringat).
Uji dilakukan dengan cara, satu kelompok diminta untuk menonton video sambil membiarkan emosi mereka muncul. Sementara itu kelompok kedua diminta untuk menonton film dan bertindak seolah-olah tidak ada yang mengganggu mereka.
Lewat uji sederhana itu ditemukan, para peserta yang menekan emosi mereka (bertindak seolah-olah tidak ada yang mengganggu mereka) memiliki gairah fisiologis yang lebih signifikan (Gross dan Levenson, 1997). Sedangkan peserta yang selama menonton menekan emosi, mereka tampak dingin dan tenang, tetapi di dalam, ada ledakan stress.