Pernah mendengar penyakit 'alzheimer'? penyakit Alzheimer adalah bentuk dari demensia yang paling umum. Walaupun demikian penyakit ini tidak dapat disepelekan, terutama pada saat awal penyakit ini menyerang.
Sejauh ini ada tiga pendeteksi penyakit alzheimer yang telah ada dalam pedoman penanganan. Ketiga pendeteksi itu merupakan tanda yang terkandung dalam darah atau yang dapat disebut brain-derived tau.
Pertama, sebuah akumulasi protein amiloid dan tau protein. Kedua, degenerasi saraf atau hilangnya sel saraf secara lambat. Ketiga, ada sebuah pergerakan darah yang cukup progresif di bagian otak tertentu.
Baca Juga: Sudah Ada Aplikasi Marketplace Di Ponsel, Pelanggan Masih Butuh Website? Ini Kata Riset iPrice
Baca Juga: Mini Survei: Ini Alasan Milenial dan Gen Z Beli Ponsel
Tiga hal tersebut dapat dilihat dengan adanya foto MRI otak atau analisis CSF. Namun, untuk keduanya ini memiliki kekurangan yang cukup signifikan. Analisis CFS terasa menyakitkan dan foto MRI membutuhkan waktu cukup lama.
Seorang asisten profesor di jurusan Psikiatri University of Pittsburgh, Prof.Thomas Karikari mengatakan, banyak pasien, bahkan di Amerika Serikat tidak memiliki akses untuk pemindai MRI dan PET.
"Aksesibilitas adalah masalah utama," ungkapnya kepada The Guardian, dilansir pada Kamis (29/12/2022).
Sebuah kabar baik muncul, para ilmuwan telah mengembangkan sebuah teknologi tes darah untuk mendeteksi atau mendiagnosa penyakit alzheimer. Artinya, hal itu memungkinkan para pasien dapat mendeteksi dini penyakit ini, tanpa harus memerlukan MRI otak yang cukup mahal. Atau mengikuti tes lumbal yang cukup menyakitkan, sebuah tes yang bertujuan mengambil sampel cairan serebrospinal (CSF) dari tulang punggung bagian bawah.
Kemudian, jika tes darah tersebut pada akhirnya memungkinkan akan lebih cepat untuk mendiagnosis penyakit Alzheimer lebih cepat, maka pasien dapat memulai terapi lebih awal.
Karikari mengatakan, tes darah ini akan menjadi langkah maju yang penting dalam dunia kedokteran. Karena adanya fasilitas yang terjangkau juga aman akan dapat dinikmati oleh setiap pasien yang membutuhkan.
Perlu digarisbawahi bahwa, meskipun tes darah saat ini dapat secara akurat mendeteksi kelainan pada protein amiloid dan tau, namun mendeteksi adanya kerusakan sel saraf pada otak tentunya akan lebih sulit.
Karikari dengan rekan-rekan ilmuwannya di seluruh dunia, sedang berfokus untuk mengembangkan tes darah yang berbasis sebuah antibodi. Untuk dapat mendeteksi sebuah bentuk spesifik dari protein tau pada otak, yang disebut brain-derived tau yang khusus untuk dapat mengetahui penyakit Alzheimer.
Penelitian ini diterbitkan oleh jurnal Oxford Academic Brain dan dipublikasikan pula oleh WebMD. Riset tersebut mengungkap, para ilmuwan mengevaluasi sampel darah dari 600 orang, -termasuk di dalamnya adalah penyintas Alzheimer-, yang telah dikonfirmasikan dengan cara otopsi, sebuah cara yang paling aktual untuk mendiagnosis penyakit tersebut.
Sementara laman Washington Edu, yang kami cek, menampilkan sebuah laporan penelitian kelompok peneliti yang dikenal dengan sebutan SOBA.
Mereka dapat mengukur kadar oligomer beta amiloid dalam sampel darah, yang menjadi penyebab penyakit Alzheimer. Penelitian ini dipimpin oleh peneliti yang berasal dari University of Washington.
Pada tulisan ilmiah yang dipublikasikan awal Desember 2022 itu, peneliti melakukan riset terhadap sebelas orang kelompok kontrol. Sepuluh dari sebelas orang ini, beberapa tahun kemudian terdiagnosis mendapat gangguan kognitif ringan atau patologi otak, yang konsisten dengan penyakit alzheimer. Pada dasarnya penelitian ini telah mendeteksi oligomer beracun sebelum gejala-gejala itu muncul.