Techverse.asia - Permainan lato-lato kini kembali populer di masyarakat. Bahkan, tidak sedikit orang terutama anak-anak yang cukup menggandrungi permainan jadul ini.
Namun, saat ini lato-lato mulai meresahkan karena suaranya yang mengganggu bahkan memakan korban. Muncul sejumlah laporan adanya anak-anak yang terluka saat bermain lato-lato.
Melihat fenomena ini, Psikolog UGM, Prof. Drs. Koentjoro, M.BSc., Ph.D., Psikolog., memberikan tanggapannya. Koentjoro menyebutkan ada sisi positif yang perlu dipahami oleh masyarakat terkait permainan lato-lato bagi anak-anak. Salah satunya adalah mengurangi ketergantungan anak untuk bermain gawai.
“Segi positifnya ketergantungan anak pada handphone (HP) jadi berkurang. Dulunya waktu untuk main HP sekarang ke lato-lato,” jelasnya saat dihubungi Selasa (10/1/2023).
Baca Juga: Cake Åik Luncurkan Sepeda Motor Listrik: Bisa Tempuh Jarak Ratusan Kilometer
Tak hanya itu, Koentjoro menjelaskan melalui permainan lato-lato anak-anak dapat melatih konsentrasi, ketangkasan fisik, kepercayaan diri, sosialisasi, dan lainnya. Sehingga lato-lato bisa menjadi sarana untuk melatih konsentrasi anak dengan biaya yang murah.
“Lato-lato ini bisa menjadi sarana anak berolahraga, belajar konsentrasi secara murah,” tuturnya.
Terkait lato-lato yang melukai anak-anak ketika memainkannya, Koentjoro menyampaikan bahwa kehadiran orang tua dalam hal ini menjadi sangat penting. Menurutnya, peran orang tua menjadi krusial untuk memberikan pemahaman atau mengedukasi anak-anak terkait cara, aturan, hingga bahaya dari setiap permainan yang dimainkan termasuk lato-lato.
“Peran orang tua harus ada, bermain dengan aman harus diajarkan kepada anak. Aturan kapan main juga dijelaskan seperti saat memakai HP, agar tidak mengganggu lingkungan,” katanya.
Baca Juga: Ingin Mulai Berkebun? Coba Aplikasi Ini
Lalu, apakah sekolah juga perlu melarang lato-lato? Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini kurang setuju jika sekolah melarang lato-lato. Sekolah disini juga memiliki peran untuk memberikan pengertian pada siswanya akan aturan dan cara bermain lato-lato yang aman dan tidak mengganggu lingkungan.
Menurutnya, sekolah justru bisa menjadi fasilitator bagi anak dalam menyalurkan hobi bermain lato-lato. Misalnya dengan menyelenggarakan lomba lato-lato yang tidak hanya sebagai sarana menampung hobi anak, tetapi juga mengajarkan bagaimana bermain secara jujur dan sportif.
“Sekolah mengingatkan. Bukan hanya sekadar melarang karena berbahaya atau membiarkan saja, namun anak-anak diingatkan bahaya lato-lato bagi diri sendiri dan orang lain serta kapan bisa bermain biar peka terhadap lingkungan,” paparnya.
Sejarah Lato-lato
Lato-lato sendiri sejatinya bukan permainan baru. Lato-lato dahulunya adalah permainan yang populer di Benua Eropa pada medio 1960 sampai 1970an. Namun, permainan disebut sebagai clackers karena dua bola saling beradu sehingga menghasilkan bunyi clack atau klak.
Pada tahun 1968, muncul model bola kaca temper yang pada akhirnya akan pecah, mengirimkan pecahan kaca ke wajah pengguna dan siapa pun di sekitarnya. Pada awal 1970-an, pabrikan mengubahnya menjadi bola plastik yang digantung di setiap tali.
Ketika mereka diayunkan ke atas dan ke bawah, saling membentur dengan sangat kuat, mereka membuat suara "klak" yang keras. Clackers mirip dengan bolas, senjata Argentina.
Mainan itu dibentuk dari dua bola polimer padat, masing-masing berdiameter sekitar 2 inci atau sekitar 5 sentimeter, diikatkan pada tab jari dengan tali yang kokoh. Pemain memegang tab dengan bola yang tergantung di bawah dan melalui gerakan tangan naik-turun membuat kedua bola berayun terpisah dan kembali bersama, membuat suara klak yang memberi nama pada mainan itu. Dengan latihan seseorang dapat membuat bola berayun sehingga saling bertabrakan baik di atas maupun di bawah tangan.