Pengguna media sosial belakangan ini masih heboh menjadikan 'ngemis online' sebagai bahan perdebatan dan diskusi. Yang paling populer, pengemis online ini beraksi di TikTok.
Beberapa dari pengguna media sosial, mengeluhkan hal ini. Karena isi konten yang dianggap mengganggu dan tidak memiliki manfaat.
Konten yang paling banyak menjadi bahan pembicaraan adalah perempuan dan lansia yang diguyur dengan air lumpur. Selain itu, ada juga si pembuat konten dengan sengaja merebahkan tubuh dan berguling-guling di kubangan air berlumpur.
Bila penonton memberikan 'gift' atau mawar dalam unggahan itu, maka mereka bisa menukarkannya dengan uang.
Apa yang dilakukan oleh mereka, serupa dengan pengemis di jalanan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan Pengemis, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan, untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Siapa yang tidak kasihan melihat seorang lansia diguyur air berlumpur?
Tetapi, ada empat alasan yang bisa kamu tanamkan ke dalam pikiranmu, bahwa pengemisan online itu bisa dihentikan. Caranya? tidak ikut memberikan gift. Atau bahkan tidak menonton tayangan yang mereka unggah.
- Itu bukan baik, itu jahat
Jangan pernah berpikir bahwa, memberikan sesuatu kepada pengemis adalah hal yang baik.
Benar bahwa mereka adalah orang yang membutuhkan uang. Namun, sudah bukan rahasia lagi kalau sejumlah pengemis beraksi karena dikoordinasi oleh pihak tertentu.
Maka, dengan terus ringan memberikan mereka gift, berarti kamu membiarkan mereka terus dieksploitasi oleh pihak-pihak tadi agar tak henti mengemis.
- Setiap orang punya kesulitan masing-masing
Kamu mungkin berpikir bahwa orang yang mengemis lewat media sosial itu sedang memiliki kesulitan. Mereka kesusahan mendapatkan pekerjaan.
Tetapi, bukankah buat dirimu sendiri mencari pekerjaan atau menjalankan bisnis adalah hal yang butuh perjuangan?
Anggaplah bahwa tidak memberikan gift TikTok kepada pengemis online, merupakan cara memotivasi mereka agar memproduksi konten yang lebih edukatif atau memberikan informasi tertentu yang berguna.
- Itu merendahkan harga diri mereka
Sebagian dari kita meyakini, meminta-minta padahal masih mampu melakukan hal positif lain, misalnya bekerja, merupakan bentuk merendahkan harga diri.
Maka memberikan gift yang bisa ditukar dengan uang, kepada pembuat konten pengemisan di TikTok, sama saja dengan membenarkan apa yang mereka lakukan.
Dengan demikian, kita telah membiarkan seseorang terus-menerus menjatuhkan diri mereka secara tidak hormat.
Kalau tidak bisa mengangkat harga diri orang lain, setidaknya kita tidak ikut berpartisipasi membuat harga diri mereka tambah jatuh.
- Melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah
Ini dia yang perlu kembali kita ingat lagi sebagai warga negara Indonesia.
Di Indonesia, gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Menurut ibu menteri yang satu ini juga menegaskan, sama seperti pengemis konvensional di jalan-jalan, pengemis online juga dilarang oleh peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dan peraturan daerah (Perda).
Jadi jelas dong, kalau memberikan uang kepada pengemis berarti tindakan ilegal.
Memberi Uang Kepada Pengemis, Hanya Menambah Rasa Hina Bagi Mereka
Ada yang pernah mengulas soal pengemisan di laman Gulf News. Opini itu ditulis oleh Najla Al Awadhi, seorang anggota Federal National Council Uni Emirat Arab.
Ia menjelaskan, menekan pengemis adalah bagian dari masalah yang lebih besar, terkait dengan pengentasan kemiskinan dan proliferasi sistem pendidikan yang tercerahkan.
"Mereka jatuh ke dalam jalan gelap kehidupan, dan mengemis sebagai mata pencaharian menjadi salah satu jalan yang mereka tempuh," tutur Deputy CEO Dubai Media Incorporated dan General Manager of Dubai One TV itu, kami kutip pada Selasa (17/1/2023).
Tidak ada yang salah dengan membantu seseorang, hanya saja gunakan kepekaan sosial yang tepat, lanjut Najla.
Berikan makanan kepada orang yang lapar; tawarkan seseorang untuk membawa mereka ke rumah sakit, jika mereka benar-benar membutuhkan bantuan medis.
"Tetapi memberikan uang kepada para pengemis, hanya menambah rasa hina di dalam diri mereka, yang menyebabkan mereka melanjutkan kehidupan seperti ini," tandasnya.
Kesenangan Melihat Orang Menderita?
Menanggapi soal fenomena pengemis online, Sosiolog Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Bagong Suyanto melihat substansi dari yang lakukan oleh pengemis tersebut adalah meminta belas kasihan orang lain, agar ia mendapatkan sesuatu.
Itu adalah bentuk kreativitas karena menghadapi situasi yang semakin kompetitif.
Mereka paham betul kalau menjadi mengemis tidak mudah dan semakin banyak saingan. Sehingga mereka perlu berkreasi, untuk mendapatkan belas kasihan masyarat untuk memberikan amal.
Selain itu, Prof Bagong juga menyoroti tentang fenomena kesenangan yang timbul dari melihat orang menderita. Dalam platform tersebut, masyarakat akan memberi lebih banyak kalau si pengemis 'tersiksa' lebih besar, seperti mengguyur lebih banyak hingga berendam lebih lama.
Bagong juga mengecam adanya kreator konten yang mencoba mengeksploitasi orang tua mereka.
Menurutnya, di belakang layar akan banyak anak muda yang berperan, terutama dalam mengoperasikan media sosial tersebut.
"Itu [anak muda yang mengeksploitasi orang tua] yang harus ditangkap. Ini masuk kategori orang yang bukan karena terpaksa. Justru dia mengeksploitasi penderitaan orang-orang yang tidak berdaya untuk memperkaya dirinya sendiri," ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR tersebut.
Pengemis online bisa ditindak dan 'dihakimi' dengan cara tidak menyumbang atau tidak menonton konten tersebut.