Pemerintah negara Amerika Serikat (AS) punya kebijakan dan program pengobatan bagi penderita alzheimer di negaranya. Yakni, penggunaan obat lecanemab (Leqembi), yang baru disetujui.
AS juga menentukan kandidat pasien yang bisa menerima obat itu. Menurut tim medis AS, obat itu tampaknya berfungsi paling efektif pada pasien dengan tahap awal kondisi neurodegeneratif.
Berbiaya mahal
Laman daring Time, yang kami akses pada Jumat (24/2/2023) menuliskan, studi menunjukkan bahwa pasien dalam tahap kondisi alzheimer yang demikian, dapat diberikan penambahan infus sebanyak dua kali sebulan. Proses itu membantu memperlambat penurunan kognitif pada pasien hingga 27%.
Lecanemab juga tampaknya membantu orang, untuk melanjutkan aktivitas harian mereka, dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan mereka yang tidak meminumnya.
Hanya yang masih perlu juga dipahami, Presiden Eisai, Inc. sekaligus yang mengembangkan lecanemab, yakni Ivan Cheung, menjelaskan kabar buruk adanya penggunaan obat itu.
Dengan biaya pengobatan mencapai $26.500 setahun, perawatan pasien alzheimer perlu mendapatkan infus rutin bulanan setidaknya dua hingga tiga tahun; sebelum mereka berpotensi beralih ke dosis pemeliharaan yang lebih jarang.
"Medicare Amerika Serikat tidak akan menanggungnya. Badan tersebut telah mengelompokkan lecanemab, ke dalam kelas obat yang membutuhkan bukti tambahan agar memenuhi syarat," tutur Ivan.
Ia mengungkap, lecanemab ini hanya obat kedua yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Obat itu menargetkan amiloid, protein yang menumpuk di otak pasien Alzheimer.
Medicare telah memutuskan bahwa, perawatan kelas satu ini masih terlalu baru untuk diganti. Hanya pasien terdaftar dalam pendaftaran yang ditunjuk, yang melaporkan hasil pasien. Mereka akan diganti biaya pengobatannya.
Tetapi daftar pasien itu belum disiapkan. Dan begitu dibuat, pengobatan ini mungkin tidak dapat diakses secara luas oleh 6,5 juta orang yang hidup dengan Alzheimer.
Hanya mungkin beberapa di antara mereka yang berada pada tahap awal, yang mungkin mendapat manfaat dari pengobatan tersebut.
Pengobatan 'bersyarat'?
Legislator di Amerika Serikat mengusulkan RUU; isinya membahas cakupan pengobatan yang diberikan oleh Centers for Medicare and Medicaid Services (CMS), kepada pasien alzheimer. RUU ini akan mencegah CMS untuk membatasi akses ke seluruh kelas obat yang disetujui, tanpa mengevaluasi manfaat masing-masing secara individual.
Pendiri Kelompok Advokasi Pasien Voices of Alzheimer's, Jim Taylor mengatakan, pembatasan-pembatasan yang disusun oleh CMS, adalah diskriminasi lanjutan terhadap orang dengan penyakit ini.
Fakta bahwa obat lecanemab tampaknya paling efektif selama tahap awal penyakit, membuat kebijakan ini menjadi pukulan telak bagi pasien dan keluarga.
Setiap hari, Asosiasi Alzheimer memperkirakan sekitar 2.000 orang berpindah dari tahap penyakit ringan ke tahap sedang. Dalam situasi seperti itu, obat menjadi jauh kurang efektif.
"Berminggu-minggu atau berbulan-bulan diperlukan, untuk menyiapkan pendaftar yang diperlukan [sesuai syarat yang diatur] oleh CMS. Ini berarti, orang yang mengalami penyakit yang lebih sedang dan lanjut akan menjadi tidak memenuhi syarat untuk perawatan," ujarnya.
Pasien Alzheimer di Indonesia?
Menurut penelitian yang dilakukan oleh alzi.or.id, diperkirakan ada sekitar 1,2 juta penderita demensia di Indonesia. Ini hanya angka terakhir, terpublikasi pada 2016.
Yayasan Alzheimer Indonesia itu memperkirakan, angka penyintas alzheimer meningkat menjadi 2 juta orang pada 2030 dan 4 juta pada 2050.
Pada 2016, penanganan demensia diperkirakan menelan biaya $818 miliar per tahun. Bagaikan jumlah pasiennya, jumlah anggaran itupun diproyeksikan tumbuh menjadi $2 triliun pada 2030.
Ada beberapa faktor, yang menyebabkan biaya perawatan pasien alzheimer tergolong tinggi di Asia. Termasuk kurangnya pemahaman tentang penyakit ini, kurangnya sumber daya dan pendidikan bagi orang yang hidup dengan demensia (ODD).