Desa Cinangsi di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu permukiman dekat anak Sungai Citarum yang saat ini mengalami pencemaran dan kerusakan lingkungan. Akibat kondisi tersebut, warga mengalami berbagai kerugian yang harus segera ditanggulangi melalui upaya kolaboratif.
Salah satu sumber pencemaran di Desa Cinangsi adalah sampah domestik yang belum terkelola dengan baik, karena sistem pengumpulannya hanya melayani 10% warga. Sementara itu, sisanya akan dibakar atau dibuang begitu saja ke Sungai Citarum.
Melihat kondisi tersebut, Institut Teknologi Bandung (ITB) tergerak untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM), yang salah satu kegiatannya adalah bank sampah. Program ini bertujuan mengurangi sampah yang berpotensi mencemari sungai, sekaligus memberi manfaat ekonomi kepada warga.
Kegiatan yang jadi bagian dari Merdeka Belajar ini, melibatkan tim dari ITB yang terdiri atas dua orang dosen FTSL dari KK Pengelolaan Udara dan Limbah, Dinda Annisa Nurdiani, dan I Made Wahyu Widyarsana, serta tiga orang mahasiswa program studi Rekayasa Infrastruktur Lingkungan.
Dilansir dari website institut, Sabtu (8/4/2023), salah satu cara yang biasanya dilakukan masyarakat untuk mengelola sampah adalah lewat bank sampah. Bank sampah umumnya memiliki dua sistem, yaitu sistem tabungan sampah dan barter.
Pada sistem tabungan, nasabah akan memberikan sampah organiknya ke bank sampah untuk dijual ke pengepul. Sebanyak 80% hasil penjualan akan diserahkan kembali kepada nasabah, dalam bentuk tabungan dan 20% akan dipakai sebagai dana pengelolaan.
Sistem ini cukup mudah untuk diterapkan dan membuat warga terbiasa menabung. Akan tetapi kekurangannya, mereka tidak bisa merasakan langsung manfaatnya sehingga antusiasmenya relatif rendah.
Model bank sampah yang diusulkan oleh tim ITB di Desa Cinangsi adalah sistem barter. Cara barter sampah beroperasional, petugas yang ditunjuk ketua RW akan berkeliling ke rumah-rumah warga untuk mengumpulkan sampah yang dapat dijual setiap dua hingga empat pekan sekali.
Sampah yang diterima antara lain limbah plastik, besi, kertas, kardus, dan rongsokan yang bernilai jual berbeda-beda.
Sampah kertas, misalnya, dihargai Rp1.000/kg, plastik Rp2.000/kg, dan logam Rp3.000/kg.
Keunikan bank sampah sistem barter ini sebenarnya terletak dari imbalan yang diterima saat menjual sampah. Warga tidak akan mendapatkan uang, tetapi sembako senilai sampah yang dijual. Setelah itu, sampah yang terkumpul di bank sampah akan dijual ke pengepul dan keuntungannya digunakan sebagai biaya operasional.
Model ini dipilih setelah diskusi dengan berbagai pihak dan mempertimbangkan aspek keberlanjutan program.
Ketua tim program barter sampah ITB, Dinda menjelaskan, program bank sampah yang menerapkan sistem barter kemudian dilaksanakan di beberapa wilayah rukun tetangga (RT).
Simulasi pertama dengan mengumpulkan sampah yang berada di RT 01, 02, dan 04. Saat itu, sampah yang terkumpul sebanyak 55 kg yang terdiri atas 13 kg ember, 8 kg kardus, 10 kg rongsok, 3 kg gelas bersih, 7 kg PET, 3 kg botol bekas AMDK, dan sebagainya.
Selanjutnya, penjualan limbah-limbah tersebut ke pengepul menghasilkan uang sebesar Rp156.700 dan keuntungan yang didapat bank sampah adalah Rp51.500.
Kemudian, hasil pengumpulan sampah ini meningkat menjadi 59,75 kg pada simulasi kedua, dengan total hasil penjualan dan keuntungan dari barter sampah senilai Rp166.200 dan Rp55.000.
Tim barter sampah ITB berharap, kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, khususnya pengelolaan sampah.