Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada menghadirkan series Digitalk x Gen Z, yang mengambil tajuk Pengaruh Media Sosial terhadap Pilihan Gen Z di Pemilu 2024. Diskusi ini digelar untuk mendiskusikan dinamika media sosial terhadap sikap dan langkah Pemilih Pemula pada Pemilihan Umum (Pemilu) nantinya.
Seperti kita ketahui, generasi muda dan pemilih pemula akan turut meramaikan pesta demokrasi Indonesia 2024. Namun, persebaran hoaks, disinformasi, dan misinformasi menjadi permasalahan besar bagi para pemilih muda. Hal ini membuat para pemangku kebijakan diharuskan mencari solusi untuk memitigasi risiko yang terjadi, terutama di media sosial.
Dalam diskusi tersebut, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta (KPU DIY) Hamdan Kurniawan membuka sesi diskusi tersebut, dengan menyebutkan sejumlah transformasi yang dilakukan oleh KPU DIY. Salah satunya menggunakan teknologi lewat website yang telah disediakan dalam tahapan penyelenggaraan Pemilu, seperti SIPOL yang digunakan untuk pendaftaran dan verifikasi Partai Politik dan Calon Peserta Pemilu.
Pada Pemilu 2024, KPU DIY juga telah meminta institusi pendidikan di Yogyakarta untuk mendata mahasiswa, sehingga dapat melakukan Pemilu lewat TPS di lokasi khusus tanpa harus pulang ke daerah masing-masing.
"Pemilih pemula ini diharapkan menjadi pemilih yang rasional, mandiri, dan bertanggung jawab sehingga dapat merajut nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi," ujarnya, dikutip pada Kamis (13/4/2023).
Diskusi ini juga menyoroti tentang perbaikan kaderisasi partai, memfokuskan pada value calon peserta Pemilu alih-alih pada area materialistis, sehingga hal ini akan menaikan persentase kepercayaan publik.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Gielbran M. Noor, menjelaskan bahwa idealnya fokus dari kontestan politik maju dalam Pemilu adalah untuk menjawab permasalahan regionalnya.
"Karena setiap regional punya permasalahannya masing-masing yang kuncinya dipegang oleh calon peserta Pemilu", jelas Gielbran.
Sementara itu, Peneliti CfDS UGM, Amelinda Pandu K, mengungkap bahwa tidak hanya Parpol dan calon peserta Pemilu, publik juga harus terliterasi dengan baik.
Saat ini, literasi politik hanya sebatas waktu dan teknis pemilihan. Padahal, literasi politik juga masuk ke dalam ketahanan pemilih terhadap intimidasi dan bujukan transaksional yang tidak sehat. Pencerdasan literasi politik juga harus mulai dialihkan melalui media sosial, alih-alih hanya difokuskan pada sistem konvensional. Pencerdasan literasi politik ini akan menghasilkan pemilih pemula yang paham akan perannya.
Ada dua peran yang dimainkan oleh pemilih pemula. Peran pertama adalah mengawal pemilu dengan turut aktif mengedukasi orang sekitar tentang hoaks, disinformasi dan misinformasi, serta aktif terlibat melaporkan konten berbahaya. Peran kedua adalah menjaga untuk tidak lengah dan terbawa arus, dengan tidak turut menyebarkan konten berbahaya lewat media sosial masing-masing.
Pemilih pemula juga harus memperhatikan akun media sosial pelaksana dan peserta kampanye, iklan kampanye, dan konten berbahaya yang membawa ke tindakan kebencian.
"Sebagai pemilih pemula, kita harus menerapkan digital culture, yakni kemampuan membaca dan membangun wawasan kebangsaan, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika di kehidupan sehari-hari”, jelas Amelinda menutup diskusinya.