Cepat atau lambat kita harus menyadari, bahwa dunia yang ditinggali anak-anak dan cucu kita besok akan sangat berbeda dengan dunia kita saat ini. Maka pertanyaannya adalah, sejauh mana dunia itu layak huni?
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis laporan terbarunya bulan lalu di laman mereka. Itu adalah sintesis dari semua pekerjaan yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir, untuk meringkas ilmu iklim terbaru. IPCC mencatat bahwa, jika tindakan segera diambil untuk mengatasi krisis iklim, masa depan yang layak huni masih mungkin terjadi.
Meski hal itu adalah kabar baik, tetapi menggambarkan masa depan bumi hanya sebagai tempat yang 'layak huni' hampir tidak memberikan gambaran yang menginspirasi, tentang apa yang harus dinantikan oleh generasi mendatang.
Penulis IPCC dan profesor geografi pembangunan di University of Bonn, Lisa Schipper, menjelaskan kalau masa depan yang layak huni sebenarnya bukan hal sulit untuk didefinisikan.
"Ini mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia," kata Lisa, dikutip pada Minggu (30/4/2023).
Definisi Schipper berguna, tetapi menggali lebih dalam, konsep 'masa depan yang dapat ditinggali' lebih subyektif daripada yang terlihat pada awalnya.
Manusia dapat mengalami masa depan layak huni yang berbeda-beda. Tergantung pada siapa dan di mana berada, kapan mereka hidup, dan, yang terpenting, keputusan yang dibuat oleh generasi kita saat ini.
Sejauh mana kita dapat mengamankan masa depan, bergantung pada keputusan yang dibuat saat ini oleh pemerintah dan perusahaan. Hal itu, pada gilirannya akan dipengaruhi oleh kekuatan kolektif warga, yang menuntut mereka memprioritaskan masa depan layak huni dan berkelanjutan.
Pertanyaan tentang seperti apa masa depan yang layak huni menimbulkan pertanyaan lain: layak huni untuk siapa? Saat ini, efeknya terasa tidak merata.
Dengan pemanasan 1,1 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, yang kita rasakan sekarang, kita akan melihat secara langsung dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Salah satunya peristiwa cuaca yang signifikan dan tidak dapat diprediksi menyebabkan kematian, kehancuran, serta pemindahan orang-orang di seluruh dunia.
Bisa dibilang, beberapa daerah yang paling parah terkena dampak sudah dapat didefinisikan sebagai tidak dapat ditinggali, setidaknya menurut definisi Schipper.
Satu grafis dalam laporan IPCC, menunjukkan bagaimana perubahan iklim akan mempengaruhi orang yang lahir pada dekade berbeda antara 1950 dan 2020. Laporan itu menggunakan pita berwarna pada sosok manusia, untuk menunjukkan jumlah pemanasan yang harus mereka tanggung pada berbagai tahap kehidupan.
Hal ini menunjukkan: ada potensi bagi mereka yang hidup di akhir abad ini, untuk hidup di dunia yang tidak jauh lebih hangat daripada dunia yang kita tinggali sekarang. Tapi mereka juga bisa menghadapi dunia yang lebih hangat.
"Masa depan layak huni yang dijamin dengan pengorbanan dan perubahan, mungkin bukan yang ingin didengar oleh warga negara, pemerintah, dan perusahaan yang digerakkan oleh laba di negara maju. Tetapi dengan bersikap terbuka untuk mengubah sistem dan cara hidup kita, masa depan akan dibuat lebih aman, lebih adil dan merata," tulis IPCC dalam laporannya.
Dalam op-ed untuk The Conversation, dua penulis IPCC, Elizabeth Gilmore dan Robert Lempert, menunjukkan bagaimana transformasi proaktif di pihak pemerintah bekerja sama dengan warga setempat, dapat memastikan umur panjang banyak komunitas tepi sungai. Mereka saat ini diketahui berisiko hanyut dan ditinggalkan oleh efek perubahan iklim.
"Masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai mungkin beralih ke tempat yang lebih tinggi. Atau mengubah tepi sungai menjadi taman, sambil mengembangkan perumahan terjangkau bagi orang-orang yang terlantar akibat proyek tersebut. Lalu berkolaborasi dengan masyarakat di hulu, untuk memperluas lanskap yang menangkap air banjir," kata mereka.
Dalam contoh ini, solusi agar kota tepi sungai dapat dihuni dapat terjadi bersamaan dengan transisi ke sumber energi terbarukan dan transportasi hijau. Namun, hal itu memang membutuhkan penerimaan terhadap perubahan yang mungkin tidak nyaman; atau tampaknya tidak nyaman membelanjakan uang pajak, meminta orang untuk pindah, dan mengkonfigurasi ulang infrastruktur.
Tetapi alternatifnya adalah tidak melakukan apa-apa, dan mengambil risiko komunitas ini menjadi usang.
Orang-orang kaya dan institusi di negara maju memiliki pilihan untuk menerima perubahan, -betapapun tidak nyamannya itu- dan menjaga agar planet ini tetap layak huni. Atau menolak untuk mempertahankan status quo, dan melihat wilayah bumi yang dapat dihuni ini kemudian menghilang secara bertahap.
Semakin umat manusia memperhatikan peringatan dari komunitas ilmiah dan mengambil langkah proaktif untuk menerima perubahan, semakin banyak peluang untuk merancang masa depan yang dapat ditinggali yang sesuai untuk semua orang. Solusi yang diperlukan, sebagaimana tercantum dalam laporan IPCC, dan semuanya tersedia untuk diambil.
Terkait ini, aktivis iklim Mikaela Loach, memberikan pandangannya tentang garis dasar masa depan lingkungan yang ia perjuangkan. Yakni, lingkungan di mana setiap orang dapat hidup bermartabat, sering mengalami kegembiraan dan tidak mengkhawatirkan hal-hal yang kita butuhkan untuk bertahan hidup.
Kala berbicara pada peluncuran bukunya It's Not That Radical: Climate Action to Transform Our World di Edinburgh, Skotlandia, Loach ingin menjelaskan lewat bukunya mengenai jenis masa depan yang layak huni ini sangat mungkin. Definisi yang dijelaskan oleh Loach pada akhirnya disepakati pula oleh IPCC, demikian kami dapatkan lewat laman Cnet.