Techverse.asia - Dalam beberapa waktu terakhir ramai diperbincangkan di media sosial bahwa negara Indonesia masuk peringkat tiga fatherless country di dunia. Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati menjelaskan bahwa fatherless country bermakna suatu negara dengan masyarakatnya minim peran/keterlibatan sosok ayah dalam kehidupan anak.
“Fatherless ini menjadi fenomena yang sudah diraskan bersama dimana peran ayah bisa dikatakan minim,” katanya, Rabu (24/5/2023).
Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM ini mengatakan, dalam pengasuhan anak membutuhkan keterlibatan orang tua yaitu ayah dan ibu secara berimbang. Artinya, pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu saja, tetapi juga dilakukan oleh ayah.
“Namun, yang banyak terjadi ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya,” terangnya.
Menurut dia, itu terjadi karena budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat Indonesia. Dalam budaya ini menempatkan perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak. Sementara laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik.
Baca Juga: 4 Rekomendasi Hotel Unik Bernuansa Alam di Bali Versi Airasia Superapp
Selain faktor budaya, anak bisa mengalami fatherless karena orang tua yang terlalu sibuk. Karena kesibukan bekerja, menjadikan ayah sulit untuk terlibat dalam pengasuhan.
“Faktor orang tua yang fly in fly out, terlau sibuk, misal berapa hari sekali baru bisa pulang menjadikan secara teknis lebih sulit terlibat dalam pengasuhan. Sementara saat sudah pulang tidak ada komitmen untuk mengganti hari-hari yang hilang,” paparnya.
Hal tersebut disebabkan karena orang tua, dalam hal ini ayah, tidak mengerti bagaimana mengasuh anak yang baik. “Fatherless karena tidak tahu cara mengasuh anak, tidak ada model yang bisa ditiru dan tidak ada ilmunya,” katanya.
Peran ayah dalam tumbuh kembang anak
Diana menyampaikan, ayah memiliki peran yang cukup penting dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan ayah dalam aktivitas bersama anak dapat menjadi kegiatan yang menstimulasi perkembangan kognitif. Ada perbedaan gaya bicara antara ayah dan ibu, seperti ayah yang cenderung lebih mengarahkan, lebih singkat.
Bentuk komunikasi yang lebih kompleks dengan orang tua menuntut kemampuan bahasa yang lebih tinggi sehingga bisa menstimulasi perkembangan kognitif anak.
Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan mendorong perkembangan fungsi eksekutif lebih optimal. Fungsi eksekutif berkaitan dengan kemampuan merencanakan, pengendalian diri, pemecahan masalah, dan atensi.
Kehadiran sosok ayah dalam pengasuhan juga memengaruhi perkembangan emosi. Relasi positif antara ayah dan anak akan membantu anak mengembangkan emosi yang matang.
Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi atau terlibat pengasuhan bisa mengurangi beban yang dimiliki ibu sehingga turut memengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak.
Baca Juga: Jangan Sampai Anak Terkena Penyakit Thalassemia, Ini Gejala yang Biasanya Muncul
Perkembangan emosi yang terhambat, lanjutnya, menyebabkan anak memiliki emosi yang tidak matang sehingga tidak mampu meregulasi emosi baik mengekpresikan maupun mengendalikan emosi.
Ketidakmampuan anak mengendalikan emosi ini akan mendorong cemas dan depresi (perilaku internalisasi) dan kontrol diri rendah, berperilaku berlebihan serta agresif (eksternalisasi).
“Keterlibatan ayah juga berpengaruh pada kelekatan anak yang akan memengaruhi perkembangan kognitif dan sosial anak. Anak yang tidak mendapatkan pengasuhan dan kehangatan dari sosok ayah akan mudah mengalami kecemasan, kompetensi sosial lemah, dan self esteem rendah,” ujarnya.
Dalam perkembangan moral, ayah berperan penting dalam penanaman nilai inidvidu karena sikap cenderung lebih tegas dan maskulin daripada ibu. Diana menyebutkan banyak penelitian yang menunjukkan hilangnya peran ayah menyebabkan anak tidak memiliki moral yang baik dan terlibat dalam kenakalan remaja.
Diana menyampaikan ayah memiliki peran dalam pembentukan identitas seksual anak. Keterlibatan ayah memberikan gambaran mengenai perbedaan gender, terutama pada anak laki-laki ayah menjadi role model dalam menjalankan perannya sebagai laki-laki. Sikap hangat dan positif ayah terhadap anak terutama laki-laki dapat membentuk maskulinitas.
“Banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan anak yang kehilangan figur ayah,” ungkap dia.
Diana kembali menegaskan bahwa ayah memiliki peran penting sama halnya dengan ibu dalam perkembangan anak baik kognitif, sosial, maupun emosional.
Keterlibatan ayah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti melakukan kegiatan bersama, komunikasi dengan anak, saling berbagi hal yang disukai, mengasuh anak, memberikan pengarahan, dan selalu ada untuk anak dan lainnya.
Baca Juga: Waspada! Angka Penderita Diabetes Anak dan Remaja Meningkat, Ini Gejalanya
Dampak
Diana menyebutkan ketiadaan peran atau kurang terlibatnya ayah dalam keluarga dapat memunculkan hambatan dalam proses perkembangan anak.
Beberapa persoalan yang bisa muncul antara lain hambatan dalam pembentukan identitas gender dan peran seksual, penurunan performa akademis, kesulitan penyesuaian psikosoial, kontrol diri rendah, dan self esteem rendah.
Selain itu, kurangnya keterlibatan ayah dapat menjadi faktor risiko munculnya psikopatologi pada anak. Salah satunya kecanduan terhadap zat ataupun aktivitas yang menimbulkan kesenangan seperti kecanduan gadget, game online, napza, rokok dan lainnya.
“Bisa juga memunculkan ganguan perilaku menyimpang, perilaku seksual dan gangguan mood serta bunuh diri,” terangnya.