Belum lama ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengungkap, terjadi peningkatan jumlah kasus HIV pada 2023. Ibu rumah tangga (IRT) menjadi salah satu penyumbang terbesar kasus, dengan angka mencapai 35% dari total kasus yang ada. Akibatnya kasus HIV baru pada kelompok IRT bertambah sebanyak 5.100 kasus setiap tahunnya.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Arief Hargono drg MKes, menanggapi fenomena tingginya angka HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga. Yang membuat prihatin, data absolut menunjukkan bahwa jumlah IRT penderita HIV lebih tinggi daripada wanita pekerja seks atau penyuka sesama jenis.
Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya fenomena ini. Pertama, IRT memperoleh virus HIV dari pasangannya.
"Jadi pasangan IRT bisa saja melakukan perilaku yang berisiko tinggi," ungkap Arief, dikutip dari laman universitas, Jumat (26/5/2023).
Kedua, virus dari IRT itu sendiri. Sehingga Arief mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya HIV.
Menurut dia, penularan HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga memang telah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Meski demikian, pandemi Covid-19 turut andil dalam menambah jumlah kasus.
"Ketika pandemi, semua program kesehatan hanya fokus pada penanggulangan Covid-19 sehingga program lain sedikit teralihkan. Bukan hanya HIV tapi penyakit lain juga cenderung turun saat pandemi," tuturnya.
Saat ini pandemi Covid-19 sudah berangsur membaik, bahkan Organisasi Kesehatan Dunia telah mencabut status kedaruratan terhadap Covid-19. Hal ini menyebabkan berbagai program kesehatan pemerintah mulai berjalan sebagaimana mestinya.
"Penemuan jumlah kasus termasuk HIV, kemungkinan besar mengalami peningkatan, terutama jika dipengaruhi adanya faktor risiko," imbuhnya.
Baca Juga: Timun Bukan Hanya Bisa Menghilangkan Mata Panda, Ini Segudang Manfaat Timun untuk Kulit Wajah
Penemuan Kasus Masih Terbentur Stigma
Arief menambahkan, kasus HIV di Indonesia bagaikan fenomena gunung es. Penemuan kasus HIV dan AIDS di lapangan masih sulit dan masih diperlukan kesadaran, utamanya di tengah masyarakat yang melakukan perilaku risiko tinggi.
Di lain sisi, saat ini masih ada stigma di masyarakat yang menyebabkan mereka merasa takut untuk memeriksakan status HIV. Terlebih di kalangan komunitas yang memiliki perilaku berisiko tinggi menularkan HIV, seperti misalnya melakukan hubungan seks dengan penderita HIV atau menggunakan jarum suntik secara bergantian.
"Kedua hal ini merupakan contoh perilaku yang berisiko menularkan HIV. Kita harus mewaspadai perilaku, seiring dengan fenomena di masyarakat yang mungkin melakukan tindakan itu," jelasnya.
Solusi HIV/AIDS Harus Dijalankan Lintas Sektor
Ia mengungkap, HIV dapat menimbulkan dampak lain seperti masalah budaya hingga masalah sosial. Maka, diperlukan strategi komprehensif dalam menghadapi fenomena ini.
Mulai dari sektor swasta, pemerintah, akademisi harus turut memberikan peran dalam melakukan penelitian serta pengembangan inovasi. Dengan konsep multi helix, harapannya pengendalian HIV bisa berjalan optimal.
Baca Juga: Apa Itu MindMe? Platform WebGIS, Tapi Mendorong Orang Sadar Pentingnya Kesehatan Mental
Peran Masyarakat
Masyarakat bisa turut mencegah penularan HIV/AIDS dengan memeriksakan status HIV sejak dini. Kaum ibu bisa menjalani pemeriksaan segera setelah dinyatakan hamil.
Peran Pemerintah
Penting untuk pemerintah meningkatkan akses perawatan, ketersediaan pengobatan, menyediakan informasi yang benar tentang HIV dan memberi dukungan kepada pasien.
"Kementerian Kesehatan juga mengadakan sebuah program yang bernama PMCTC (Prevention of Mother to Child HIV Transmission), untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Maka, perlu adanya sosialisasi lebih lanjut, agar ibu, pasangan baru menikah, atau ibu hamil bisa memanfaatkan program ini dengan baik," ucapnya.
Peran Keluarga
Keluarga diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai HIV. Pengetahuan ini yang akan menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV.
"Kasus HIV memang berpotensi terjadi pada kelompok risiko tinggi, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada kelompok risiko rendah," demikian diungkap Arief.
Selain itu, pemahaman keluarga dapat menciptakan suasana yang baik bagi penderita HIV. Keluarga akan bisa mengayomi dan memberikan dukungan emosional, agar penderita HIV mau berobat serta memeriksakan diri secara teratur.
Peran Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan harus memantau cara rutin pada kelompok risiko tinggi. Penyediaan layanan konseling terpadu, turut menjadi tugas tenaga kesehatan dalam hal ini.