Techverse.asia – Banyak brand mengucurkan dana yang besar untuk membayar para mega influencer untuk mengenalkan atau mempasarkan produk-produk mereka, biasanya mega influencer itu memiliki jumlah pengikut yang banyak. Namun demikian, saat ini beberapa studi menunjukkan bahwa konsumen tidak terlalu terpengaruh dengan cara seperti itu, sehingga mereka mulai kehilangan pengaruhnya. Kondisi ini disebut dengan influencer fatigue.
Berdasarkan data Global Web Index (GWI), jumlah Gen Z yang tertarik pada influencer telah turun 12 persen sejak tahun 2020. Senada, studi lain menemukan hanya tiga persen konsumen yang membeli produk atas pengaruh mega influencer. Padahal, Gen Z merupakan target pasar utama bagi para marketing influencer.
Meskipun influencer besar dengan jutaan followers memang dapat mendatangkan pelanggan baru, akan lebih baik bagi brand untuk memilih influencer yang benar-benar memiliki pengalaman dengan produk mereka. Pasalnya, autentik menjadi poin utama yang kini dicari konsumen ketika memutuskan apakah mereka akan mempercayai postingan bersponsor. Kepercayaan inilah yang merupakan elemen penting dalam jual beli daring.
CEO Mitra Komune Nusantara Jennifer Ang mengatakan, konsumen yang lebih muda seperti Gen Z, lebih tertarik pada komunitas, yang didalamnya berisi orang-orang yang berbagi informasi dan konten orisinal tentang brand dan produk yang mereka sukai.
“Mereka kini beralih dari mempercayai mega influencer seperti selebriti, menjadi bersandar pada kreator konten atau influencer dengan basis pengikut yang kecil,” ungkapnya, Senin (29/5/2023).
Baca Juga: MS Glow Luncurkan Acne Fight Toner Baru, Hilangkan Jerawat yang Membandel
Walau kreator konten mungkin tidak memiliki jangkauan yang sama dengan para mega influencer, mereka justru memiliki tingkat ketertarikan yang ditandai dengan persamaan kepentingan dan konten yang dapat dipercaya.
Hal ini sesuai dengan temuan laporan Influencer Marketing: Exploring The Current Influencer Marketing Landscape And Its Future Potential, di mana 48 persen konsumen mengaku menginginkan influencer yang dapat dipercaya. Sementara 29 persen konsumen menginginkan para influencer untuk transparan tentang produk yang disponsori.
Temuan itu jelas menyoroti bahwa kepercayaan, transparansi, dan keaslian adalah yang terpenting dalam hubungan antara influencer dan konsumen. Konsumen menginginkan pengungkapan penuh tentang apa yang dipromosikan oleh influencer. Lebih dari itu, mereka menginginkan influencer untuk hanya mempromosikan produk yang benar-benar mereka gunakan dan ketahui.
“Sekarang ini, di mana konsumen tidak lagi mempercayai informasi yang dipublikasikan para influencer di media sosial, bisnis harus menemukan cara autentik untuk terhubung melalui media sosial,” paparnya.
Ia menyampaikan, untuk menarget Gen Z yang merupakan target pasar utama dalam iklan media sosial, brand harus mencari model keterlibatan yang lebih autentik.
“Karena Gen Z lebih mempercayai konten autentik yang disediakan oleh orang yang mereka percayai, brand yang cerdas harus mencari model keterlibatan yang lebih autentik dengan membina komunitas orang-orang yang menyukai produk mereka,” jelas Jennifer.
Melalui komunitas penggemar inilah, Jennifer melihat kesempatan bagi brand untuk memanfaatkan suara konsumen mereka untuk meningkatkan keterlibatan dengan target pasar.
Untuk membangun komunitas konsumen yang akan menghubungkan mereka ke target pasar, Jennifer menilai brand terlebih dahulu perlu mengidentifikasi pelanggan mereka yang telah membagikan cerita terkait produk atau brand secara daring.
“Setelah mengidentifikasi siapa saja penggemar mereka, brand perlu membangun kemitraan yang tepat untuk mengajak mereka bergabung dengan komunitas dan mendorong mereka untuk membuat konten buatan pengguna atau user generated content (UGC) untuk kemudian dibagikan melalui media sosial,” katanya.
Baca Juga: Ingin Kurangi Screen Time, Gen Z 'Si Paling Tekno' Mulai Beralih ke Handphone Jadul
Karena ini adalah UGC, Jennifer menggaris bawahi bahwa brand tidak boleh mengontrol atau mengarahkan anggota komunitas untuk membuat postingan yang tidak orisinal dan tidak sesuai dengan keunikan masing-masing individu tersebut. Alih-alih mengontrol, brand hanya bisa memberikan saran.
Cheetos misalnya, seperti dilansir Forbes, brand snack terkenal itu merupakan salah satu yang memanfaatkan konten penggemar mereka dengan baik. Melalui saluran media sosialnya, Cheetos mengkurasi foto dan video buatan penggemar yang menampilkan produk mereka dengan kreatif.
Cheetos bahkan rutin mengajak penggemar mereka untuk berkolaborasi dalam sejumlah challenge, seperti tantangan tagar #ItWasntMe, juga mendorong penggemar mengunggah kreasi olahan Cheetos mereka, bahkan mengajak blogger dan beauty enthusiast untuk mengunggah cat kuku atau tata rias lain yang terinspirasi dari Cheetos.
Influencer fatigue adalah fenomena nyata dan karenanya, brand membutuhkan perubahan strategi atas kampanye influencer mereka. Satu-satunya strategi yang tepat untuk meningkatkan penjualan daring adalah dengan membangun kepercayaan dengan konsumen melalui pemasaran yang kredibel.
Membangun koneksi dengan komunitas pengguna bahkan penggemar produk dapat menjadi pemberi pengaruh atau influencer yang dapat mewakili suatu brand dengan cara yang jujur. Upaya membangun komunitas semacam ini juga dapat memperkuat hubungan brand dengan konsumen untuk mendorong loyalitas jangka panjang.
“Selain itu, brand juga bisa mendapatkan feedback dan ide dari penggemar yang mendorong pengembangan dan penjualan produk baru,” katanya.