Rasa cemas merupakan salah satu perasaan yang kerap dirasakan manusia. Namun apabila berlebihan, perasaan ini dapat menghantui pikiran hingga mengacaukan aktivitas sehari-hari.
Hasil survei Indonesia Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyebutkan, gangguan cemas —gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas— merupakan gangguan yang paling banyak diderita oleh remaja umur 10 hingga 17 tahun.
Riset I-NAMHS menunjukkan, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Sementara itu, satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.
I-NAMHS juga mengungkap, meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Total hanya ada sebanyak 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental, yang menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling, untuk membantu mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil, bila dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka. Mereka lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Menyoroti kondisi ini, Psikolog Medical Center Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Fatimatuzzakiyah SPsi MPsi Psikolog, membagikan tip untuk bersahabat dengan rasa cemas berlebih.
Baca Juga: Kenali Dampak Hubungan yang Tidak Sehat Terhadap Mental Remaja
Sementara itu, dalam hasil riset Borwin Bandelow dari Departemen Psychiatry and Psychotherapy University Medical Center, Jerman, pada 2017 didapati, penyebab gangguan kecemasan merupakan interaksi dari psychosocial faktor. Di antaranya adalah kemalangan masa kecil, stres, trauma, serta kerentanan genetik yang berakibat pada disfungsi neurobiological dan neuropsychological.
Menanggapi hal tersebut, Zakiyah mengungkap, kecemasan sejatinya merupakan hal yang wajar untuk dimiliki setiap orang. Hal ini merupakan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan. Sayangnya, dengan adanya perkembangan internet dan keterbukaan informasi saat ini, tidak jarang seseorang malah mengantisipasi hal-hal kurang penting yang kelak menimbulkan kecemasan sosial.
"Kecemasan dapat dikategorikan berlebih, bilamana telah memengaruhi kesehatan mental kita. Pengaruh ini terlihat jika aktivitas sehari-hari menjadi terganggu," tuturnya, dilansir dari keterangan tertulis di laman universitas, Minggu (4/6/2023).
Misalnya tugas yang tidak terselesaikan, tidur tidak nyenyak, serta datangnya demotivasi dalam hidup. Tanda-tanda ini dapat menjadi indikator bahwa kecemasan yang kita rasakan telah berlebih dan memerlukan tindakan untuk meluruskannya kembali.
Lulusan magister psikologi Universitas 17 Agustus 1945 ini menjelaskan, untuk menghadapi kecemasan yang berlebih terdapat tiga tahapan yang dapat digunakan.
Tahapan pertama, yakni memvalidasi keberadaan perasaan tersebut dengan mengakui bahwa perasaan itu nyata.
"Menyadari bahwa kita sedang cemas akibat suatu hal dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki kecemasan,” tambahnya.
Tahapan kedua, mempertimbangkan kembali pikiran-pikiran yang menjadi alasan kecemasan. Seseorang dapat menantang pikirannya dengan mempertanyakan kebenaran dari sumber kecemasan yang timbul, 'apakah perasaan yang dirasakan merupakan bahaya yang dapat berdampak bagi dirinya?'.
"Melalui cara ini, kita dapat menguraikan dan mengejar asal muasal dan hal pemicu kecemasan yang sedang dialami," jelasnya.
Tahapan ketiga, kembali berfokus pada tindakan yang dapat dilakukan terhadap kecemasan tersebut. Caranya dengan menggolongkan mana saja yang dapat dikendalikan dan apa yang berada di luar kendali, kita dapat menyadari batasan diri kita. Hal tersebut dapat mengingatkan kita kembali atas prioritas yang dimiliki dan bertindak sesuai dengan kapasitas.
Zakiyah melanjutkan, ketiga tahap ini dapat menjadi antisipasi dan pertolongan pertama untuk mengatasi kecemasan yang sewaktu-waktu timbul dalam kehidupan. Namun apabila perasaan yang muncul terasa di luar kendali, seseorang dapat membagikan ceritanya kepada teman dekat, keluarga, hingga bantuan psikolog profesional untuk melepaskan beban yang dirasakan.
"Berkunjung ke psikolog merupakan hal yang patut dinormalisasikan. Selayaknya berobat ke dokter untuk menyembuhkan penyakit, berkonsultasi ke psikolog adalah hal wajar. Keberadaan kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan jasmani," imbuhnya.
"Sekecil apapun perasaan mengganjal dalam diri yang timbul, dapatlah menjadi alasan untuk merasa tidak baik-baik saja dan pergi ke psikolog," pungkas Zakiyah.