Sosial Research Center (SOREC) Universitas Gadjah Mada dan Rumah Politik Kesejahteraan (RPK) mendiskusikan Tantangan Repolitisasi dan Menakar Kepemimpinan, sebagai bentuk kajian menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Dikemas dalam bentuk seminar, kegiatan ini memberikan gambaran kepada khalayak bahwa Pemilu 2024 akan menjadi momentum penting dalam proses peningkatan kualitas demokrasi dan partisipasi masyarakat, di Indonesia.
Dalam diskusi itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menyatakan memilih pemimpin adalah keputusan krusial yang tidak bisa disepelekan. Bahkan, ia berharap suara masyarakat kelak bukan hanya bertumpu pada popularitas calon atau sekadar calon yang mampu membeli suara dengan uang. Melainkan calon pemimpin yang seharusnya adalah dia yang nantinya bisa mewujudkan ide dan gagasannya untuk mengurai masalah bangsa.
"Bukan malah sebaliknya, justru melahirkan masalah bangsa," tuturnya, di University Club, Senin (5/6/2023).
Baca Juga: Mirip Pemilu 2019 di Indonesia, Akses ke Beberapa Tweet Dibatasi Saat Pemilu Turki
Baca Juga: CfDS UGM: Buzzer di Media Sosial Harus Ditangani, Tapi Jangan Pakai Internet Shutdown Seperti 2019
Baca Juga: Ada yang Ikut Mandiri Jogja Marathon 2023? Jangan Lupa Persiapkan 4 Hal Ini Sebelum Berlari
Atas dasar itu menurut Arie, maka kita perlu melakukan penyadaran kepada publik betapa strategisnya Pemilu melalui proses repolitisasiar. Kena merepolitisasi demokrasi artinya mendorong agar politik difungsikan dengan benar dan dengan dasar nilai, serta tidak sekadar menjalani secara dangkal apalagi sekadar agenda rutin tanpa makna.
Direktur Rumah Politik Kesejahteraan (RPK), Sugeng Bahagijo, menambahkan bahwa pentingnya politik soluasi bagi kesejahteraan sosial sebagai tujuan mulia dinamika politik nasional.
Politik solusi atau politik jalan keluar untuk kesejahteraan sosial sebagai tujuan mulia dinamika politik nasional.
"Di atas kontestasi jelang 2024, pihaknya percaya pada politik solusi, politik jalan keluar yang menjamin perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara sistemik dan merawat persatuan Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, peneliti senior Sosial Research Center (SOREC) Universitas Gadjah Mada, Kuskrido Ambardi turut memberikan pandangannya.
Ia mengungkapkan bahwa sejauh ini, secara populer kualitas kepemimpinan selalu diartikan sebagai kualitas kepribadian seorang pemimpin. Mereka dilihat dari kadar ketegasan, kedisiplinan, kepintaran, kejujuran, dan sejenisnya. Namun hanya separuh saja mengungkap kualitas kepemimpinan.
Akrab disapa Dodi, ia menambahkan, Pemilu seharusnya menjadi arena kontestasi bagi calon pemimpin membangun dukungan dari masyarakat. Hal itu yang akan menjadi penentu atas keterpilihan calon pemimpin.
"Yang terlewat adalah kemampuan pemimpin melacak masalah pokok di Indonesia dan memberikan visi inspiratif yang bisa menggerakkan publik. Inilah pentingnya pemimpin mampu mengajak Indonesia, bukan hanya bersibuk dengan basis sosialnya saja," kata dia.
Ide dan gagasan yang dimiliki setiap calon pemimpin menjadi nilai yang diadu dalam pemilu sebagaimana seharusnya. Dengan demikian mereka bukan sekedar bertumpu pada popularitas tokoh semata.
Sejauh ini secara populer kualitas kepemimpinan selalu diartikan sebagai kualitas kepribadian seorang pemimpin. Mulai dari kadar ketegasan, kedisiplinan, kepintaran, kejujuran, dan sejenisnya.
"Hal-hal tersebut umum terjadi, namun hanya separuh saja mengungkap kualitas kepemimpinan," kata dia.
CEO Polmark Research Center, Eep Saefulloh Fatah, pada Pemilu 2024 tidak ada kandidat terpilih jika jaringan pemenangan yang mereka miliki tidak sampai ke tingkat keluarga atau bahkan tetangga si pemilik suara. Maka, untuk dapat memenangkan kontestasi Pemilu, jaring pemenangan harus punya jangkauan ke rumah. Kalau sudah begitu, menurutnya, prospeknya akan cerah.