Techverse.asia - Penyakit Retinoblastoma merupakan jenis kanker ganas yang berlokasi di dalam bola mata, dan ini banyak ditemukan di kalangan anak-anak dengan rasio terjadinya insidensi sebanyak satu dari 16.000-18.000 anak-anak di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, dari data penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Eye:Advancing the Science and Practice of Ophthalmology, pada November 2018 menunjukkan bahwa terdapat 277 anak yang terjangkit retinablastoma, dengan mayoritas anak di bawah lima tahun.
Ahmad Ikliluddin selaku Dokter Mata di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta saat dihubungi pada Jumat (7/7/2023) mengatakan bahwa retinoblastoma merupakan keganasan yang muncul akibat mutasi dari gen RB1. Suatu gen yang berperan sebagai pengendali pertumbuhan sel atau tumor suppressor gene, yang ada dalam kromosom manusia.
Baca Juga: Anak-anak dan Remaja Lebih Banyak Nonton TikTok Ketimbang Youtube: Rata-rata 82 Menit Sehari
Menurut Ahmad, mutasi tersebut menyebabkan terjadinya pembelahan sel secara terus-menerus dari sel progenitor fotoreseptor retina, yang akan membentuk jaringan kanker yang tidak terkendali pertumbuhannya di retina dan menjadi retinoblastoma.
“Mutasi dari gen RB1 ini bisa terjadi karena penurunan dari orangtua ke anaknya maupun secara sporadik yang merupakan proses pertumbuhan jaringan. Jika tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat, sel retina yang tumbuh sebagai retinoblastoma ini akan tumbuh semakin besar dan dapat menyebar hingga ke otak dan sumsum tulang yang menyebabkan meningkatnya angka mortalitas atau kematian,” jelas Ahmad.
Dokter yang juga membuka praktek di Rumah Sakit Asri Medical Center (RS AMC) ini juga mengingatkan agar orangtua semakin waspada terhadap munculnya gejala retinoblastoma pada anak. Gejala awal yang perlu diperhatikan adalah munculnya kilauan cahaya dari dalam mata anak, yang juga dikenal sebagai leukocoria.
“Bila gejala ini sudah muncul pada anak, sebaiknya segera periksakan anak ke dokter mata terdekat untuk mendapatkan deteksi sedini mungkin bila terjadi retinoblastoma,” ujarnya.
Menurut Ahmad, saat ini sudah terdapat beberapa pilihan sebagai langkah penanganan retinoblastoma. Ini diklasifikan berdasarkan sedini apa deteksi dilakukan, jika kanker masih berukuran kecil dengan penyebaran terbatas di area retina dapat menggunakan pilihan terapi dengan penyinaran laser untuk mematikan kanker dan jaringan pendukungnya.
Terdapat juga penggunaan kemoterapi intra-arteri yang menargetkan sel kanker retinoblastoma di retina, sehingga efek kemoterapi ke jaringan tubuh lainnya dapat diminimalisasi. Menjadi staf pengajar di Fakultas Kesehatan dan Ilmu Kedokteran (FKIK) UMY, Ahmad yakin jika retinoblastoma dapat tertangani dengan baik jika terdeteksi sejak awal, sehingga dapat mempertahankan keutuhan bola mata dan fungsi pengelihatan.
“Namun, bila retinoblastoma sudah tumbuh semakin besar, bola mata akan terlihat menonjol keluar dan kemungkinan sudah terjadi persebaran kanker melalui saraf mata dan tulang orbita. Ini memerlukan kemoterapi untuk mengecilkan ukuran kanker dan dilanjutkan dengan prosedur enukleasi, yaitu mengambil bola mata secara utuh untuk memperkecil risiko persebaran kanker ke otak dan organ lain di tubuh. Prosedur ini dilanjutkan dengan kemoterapi sistemik untuk menangani kanker hasil metastasis di organ lain di tubuh,” katanya.
Ia menegaskan bahwa deteksi dini terhadap retinoblastoma sangat penting demi memperkecil risiko tersebarnya retinoblastoma ke organ lain dalam tubuh, sehingga dapat menekan tingkat kematian pada anak.
“Penting untuk melakukan deteksi dini agar menekan risiko menyebarnya retinoblastoma ke organ lain di tubuh anak. Itu bisa berujung kematian pada anak,” katanya.