Kondisi udara di sejumlah daerah di Indonesia tidak selalu dalam kondisi baik belakangan ini. Penyebabnya, polusi asap kendaraan, polusi kebakaran hutan bahkan polusi yang muncul dari pembakaran pabrik.
Polusi udara ternyata memiliki kaitan erat dengan kesehatan fisik dan mental seseorang.
Baca Juga: Kata Penelitian: Polusi Udara Dapat Menjadi Faktor Pemicu Orang Depresi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, sembilan dari sepuluh orang secara rutin menghirup udara dengan tingkat polusi yang berbahaya. Dan polusi udara membunuh sekitar tujuh juta orang setiap tahunnya.
Tetapi sampai di sini, tahukah kamu? kalau polusi udara juga bisa punya hubungan dengan tingkat kriminalitas suatu wilayah. Berikut penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Kajian ilmiah yang dipublikasikan pada Januari 2020 itu, disusun oleh seorang Asisten Profesor Studi Kerja dan Organisasi di MIT Sloan School of Management, Jackson Lu.
Dalam sebuah studi yang menganalisis selama sembilan tahun, dari 9.360 kota di Amerika Serikat, diketahui polusi udara secara positif memprediksi kejahatan kekerasan (pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan penyerangan) dan kejahatan properti (perampokan dan pencurian kendaraan bermotor).
"Kota-kota dengan tingkat polusi tertinggi juga memiliki tingkat kejahatan tertinggi," tulis publikasi itu, dilansir Sabtu (19/8/2023).
Penelitian itu juga bersifat korelasional, namun melibatkan faktor lain seperti populasi, status kepegawaian, usia dan jenis kelamin.
"Banyak dari kita cenderung berpikir tentang polusi udara dalam kaitannya dengan kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia, tetapi juga berdampak negatif terhadap kesehatan dan perilaku psikologis kita," kata Prof. Lu.
Temuannya, yang diterbitkan dalam jurnal Current Opinion in Psychology ini, muncul pada saat pemerintahan Donald Trump telah mengambil langkah-langkah untuk memotong dana untuk Badan Perlindungan Lingkungan.
Baca Juga: Roblox Hadapi Gugatan Hukum, Dituding Memfasilitasi Anak Main Judi Online
Dalam tinjauan terhadap 178 artikel penelitian, Prof. Lu menemukan banyak bukti yang menunjukkan konsekuensi destruktif dari polusi udara.
Secara umum, polusi udara—campuran partikel, logam, serta gas dan senyawa lain—menyebabkan penurunan kebahagiaan dan peningkatan depresi. Secara kognitif, itu merusak fungsi dan pengambilan keputusan. Secara ekonomi, hal itu merugikan produktivitas kerja.
"Dan secara sosial, itu memperburuk kondisi perilaku kriminal," lanjut dia.
Sejumlah besar penelitian menunjukkan, polusi udara secara negatif memprediksi kepuasan dan kesejahteraan hidup orang. Efek ini telah diamati di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Australia, Kanada, China, AS, dan Eropa.
Menurut Lu, polusi udara juga dikaitkan dengan peningkatan kecemasan, dan peningkatan gangguan mental, seperti depresi, skizofrenia, dan autisme. Polusi udara juga dapat menjadi faktor risiko penyalahgunaan zat, perilaku menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri.
"Secara fisiologis, paparan polutan udara dapat memicu kecemasan dengan meningkatkan stres oksidatif dan peradangan sistemik. Secara psikologis, pengalaman polusi udara dapat memicu kecemasan eksistensial terhadap kesehatan dan masa depan seseorang," tuturnya.
Sebuah alinea dalam publikasi itu berbunyi: Polusi udara dapat menyebabkan gangguan kognitif, seperti demensia dan gangguan hiperaktif defisit perhatian. Penelitian telah menunjukkan, orang yang tinggal di tempat dengan jumlah PM2.5 yang berlebihan (polutan mikroskopis yang biasanya disebabkan oleh pembakaran dari pembangkit listrik, knalpot mobil, dan kebakaran hutan) memiliki risiko demensia yang meningkat sebesar 92%.
Yang bisa merasakan daya rusak dari polusi udara bukan hanya orang dewasa, melainkan manusia sejak perkembangan pralahir, masa kanak-kanak, dewasa muda, dan bahkan hingga usia tua.
Baca Juga: Tiga Kekurangan Kendaraan Listrik, Siapa Bilang Tanpa Polusi?
Dalam risetnya, Prof. Lu menemukan, polusi udara memiliki implikasi ekonomi dan sosial yang kritis. Polusi udara mengurangi produktivitas kerja dalam dua cara kritis.
Pertama, meningkatkan ketidakhadiran: bahkan tingkat polusi yang sedang mengurangi jam kerja orang dewasa, kemungkinan besar karena mereka sakit atau perlu merawat anak kecil dan orang tua. Kedua, itu menurunkan produktivitas karyawan individu saat pekerja sedang bekerja.
"Polusi udara tidak hanya merusak kesehatan individu, tetapi juga kesehatan masyarakat," tegas Lu kemudian.