Kalau kita perhatikan, sejumlah teman perempuan mungkin mulai menambahkan nama pasangan di belakang nama mereka setelah resmi menikah.
Sebut saja misalnya memiliki teman bernama Adelina Harmala, lalu menikah dengan Raja Paser. Maka pasca berstatus istri, Adelina mungkin kerap menggunakan "nama baru" Adelina Harmala Paser. Dalam situasi lain, ia memperkenalkan dirinya sebagai Nyonya Paser atau Mrs.Paser, dalam interaksi sosial atau biografi media sosialnya.
Kebiasaan itu, bisa dikatakan meniru kebiasaan perempuan menikah dalam tradisi Amerika. Tetapi sebetulnya, bagaimana situasi terkini tradisi 'penggunaan nama suami' di negara itu? Mari kita bersama menyimak laporan riset dari Pew Research Center berikut ini.
Lembaga riset itu mengungkap, hampir empat dari lima perempuan yang menikah dengan laki-laki masih mematuhi tradisi dan menggunakan nama suami mereka.
Baca Juga: Baru Jatuh Cinta dengan Kisah Harry Potter? Yuk Maraton Filmnya dengan Kronologi Berurutan
Survei Pew Research Center, menanyai perempuan yang menikah dengan laki-laki dan menemukan 79% mengubah nama mereka menjadi nama suami. Dari jumlah perempuan yang tersisa, 14% tetap menggunakan nama belakang mereka setelah menikah, sedangkan 5% lainnya memberi tanda hubung pada nama mereka dengan nama pasangannya.
"Survei tersebut tidak menganalisis preferensi pasangan sesama jenis untuk mengganti nama," ungkap Pew Research Center, dilansir dari laman mereka, Sabtu (9/9/2023).
Para peneliti Pew juga memperkirakan, di masa depan, jumlah perempuan yang menggunakan nama mereka akan meningkat.
Sebanyak 33% perempuan yang ditanya tentang rencana penamaan setelah menikah, menjawab kalau mereka berencana menggunakan nama belakang pasangan.
Perempuan Muda dan Perempuan Pascasarjana, Tidak Minat Pakai Nama Suami
Selain itu, penelitian mereka juga menemukan, perempuan yang berusia lebih muda dan perempuan bergelar pasca sarjana adalah yang paling mungkin untuk tetap menggunakan nama belakang mereka setelah menikah.
"20 persen perempuan menikah berusia 18 hingga 49 tahun mengatakan, mereka tetap menggunakan nama belakangnya. Berbeda bila dibandingkan dengan 9 persen perempuan berusia 50 tahun ke atas," ungkap Pew Research Center.
Baca Juga: Sejarah Kolaborasi Samsung x Thom Browne dari Masa ke Masa
Baca Juga: Pertamina Terus Lanjutkan Program Pelestarian Pesut Mahakam
Sementara data pada perempuan yang memiliki gelar pendidikan pasca sarjana, sebanyak 26% di antaranya tetap menggunakan nama belakang mereka setelah menikah. Sedangkan data pada perempuan yang memiliki gelar sarjana tentang hal serupa jumlahnya 13%, dan 11% dari mereka yang berpendidikan perguruan tinggi atau kurang.
Penyematan Nama Suami, Dinilai Berkonotasi 'Lelaki Adalah Penguasa'
Seorang profesor kehidupan keluarga di Universitas Bradford, Simon Duncan, menilai tradisi penggantian nama adalah kebiasaan yang sebetulnya 'cukup berbahaya'.
"Ini melanggengkan gagasan bahwa suamilah yang berkuasa, mereproduksi tradisi bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga," kata dia.
Baca Juga: Ke Yogyakarta Ngidam Makan Bubur? Cek 6 Warung Bubur Ini
Untuk mencapai kesetaraan gender, daerah-daerah tertentu melarang perempuan mengadopsi nama suami mereka.
Sejak 1981, undang-undang provinsi di Quebec melarang seorang wanita mengambil nama belakang suaminya setelah menikah. Yunani mengeluarkan undang-undang serupa pada 1983, yang mewajibkan perempuan untuk tetap menggunakan nama gadis mereka setelah menikah. Prancis, Belgia, dan Belanda juga memiliki undang-undang yang mengharuskan nama keluarga tetap sama setelah menikah.
Sebaliknya, beberapa negara, seperti Korea, Malaysia, dan Spanyol, tidak memiliki mandat hukum, namun mengikuti tradisi di mana perempuan cenderung tetap menggunakan nama mereka sendiri setelah menikah.