Techverse.asia - Penyakit Hirschsprung atau biasa disingkat menjadi HSCR merupakan penyakit kongenital atau bawaan yang menjadi salah satu penyumbang signifikan angka kematian bayi baru lahir dan anak berusia di bawah lima tahun. HSCR ini menyebabkan gangguan buang air besar pada bayi.
Salah satu gejala yang biasa ditemukan pada bayi dengan HSCR antara lain tidak bisa buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir. Sementara itu, pada balita gejala yang muncul antara lain sembelit menahun, perut menggembung, serta terdapat gangguan pada pertumbuhan.
Baca Juga: Warna Mata Seorang Bayi Berubah Jadi Biru Usai Mendapat Resep Obat Favipiravir
Guru Besar Bidang Bedah Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor dr. Gunadi, Ph.D menjelaskan bahwa penyakit HSCR itu banyak ditemukan pada bayi yang baru saja dilahirkan dengan insidensi global yang diperkirakan 1:5.000 kelahiran hidup dan justru sering ditemukan pada anak laki-laki.
“Hirschsprung ini paling sering ditemukan pada bayi baru lahir dengan insidensi global diperkirakan 1:5.000 kelahiran hidup dan lebih sering ditemukan pada laki-laki. Namun, menariknya insidensi Hirschsprung di Indonesia lebih tinggi di banding populasi lain yaitu 1:3.250 kelahiran hidup,” ungkapnya.
Gunadi memperkirakan kondisi tersebut terjadi berhubungan dengan frekuensi common variants RET rs2435357 dan rs2506030 pada populasi kontrol di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan populasi lain.
Baca Juga: Hadiahi Dirimu dengan Medical Check Up, Supaya Tahu Caranya Menghindari Penyakit-Penyakit Ini
Dari penelitian yang dilakukannya diketahui sebagian besar penderita HSCR di Indonesia masuk dalam klasifikasi short segment dimana segmen aganglion tidak melebihi kolon sigmoid atau persentasenya berada di angka 80 persen. Lalu, dari data di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan frekuensi HSCR yang disertai dengan sindrom down sebesar 12 persen dan hanya dijumpai satu kasus familial dari 67 kasus.
“Data di DIY terkait dengan HSCR menunjukkan bahwa penyakit ini dibarengi dengan sindrom down dengan presentasenya 12 persen dan cuma dijumpai satu kasus familial saja dari 67 kasus yang saya teliti,” ujar dia.
Lebih lanjut Gunadi memaparkan bahwa HSCR merupakan penyakit genetik. Sejumlah bukti menunjukkan hal tersebut, salah satunya angka kesintasan pasien HSCR menjadi lebih tinggi setelah ditemukan teknik pull through tahun 1984 sehingga tercipta kondisi untuk menemukan adanya transmisi HSCR familial.
“Tidak hanya itu, bukti lain mencatat adanya peningkatan risiko pada saudara pasien untuk menderita HSCR dibandingkan populasi umum. Lalu, adanya rasio HSCR yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan serta adanya hubungan HSCR dengan penyakit genetik lain seperti sindrom malformasi atau anomali kromosom,” terangnya.
Konsep kompleksitas genetik pada HSCR disebutkan pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur pada 19 November 1979 silam ini bisa dipahami dengan mempelajari kejadian molekuler dan seluler selama perkembangan enteric nervous system (ENS) saat embriogenesis. Setidaknya hingga saat ini ada 35 gen yang berhubungan dengan patogensis HSCR.
“HSCR merupakan penyakit genetik kompleks yang bisa menimbulkan komplikasi Hirschsprung Associated Enterocolitis (HAEC) yang bersifat fatal. Dengan data stratifikasi risiko berbasis genomik, kedokteran presisi sebagai manajemen HSCR bisa terwujud. Dengan begitu, kesadaran orang tua pasien terhadap risiko HSCR menjadi lebih baik, HSCR pun bisa didiganosis dan terapi lebih awal, serta terhindar dari komplikasi fatal,” urainya.
Baca Juga: Anak Muda Rentan Alami Gangguan Kesehatan Mental, Sosiolog: Bisa Berdampak pada Ekonomi