Hari ke hari, kasus bullying atau perundungan terus menjadi sumber berita di sekitar kita, bukan hanya di sektor pendidikan formal, lingkungan rumah, bahkan di lingkungan pendidikan berbasis keagamaan.
Bullying adalah pola kekerasan yang berulang dalam hubungan antar individu atau kelompok.
Perundungan biasanya terjadi ketika ada pihak yang lebih kuat sebagai pelaku dan pihak yang lebih lemah sebagai korban.
Ada beberapa faktor yang membuat seseorang berisiko tinggi menjadi korban perundungan, yakni:
kurangnya dukungan sosial,
kelemahan penyelesaian konflik,
memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas.
Bullying tidak hanya dapat menjadi luka bagi para korban, tetapi juga menjadi racun bagi para pelaku.
Ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga, Margaretha, menyarankan agar ada peran aktif dari lingkungan sekitar (seperti teman, guru, atau orang tua) dalam mengantisipasi tindak perundungan.
Baca Juga: Game Paranormal Activity Versi Baru Dikabarkan Rilis Pada 2026
Ia menekankan, lingkungan harus peka dan berani membantu korban, serta menghentikan tindakan perundungan.
"Jangan biarkan korban sendirian menghadapi bullying. Lingkungan harus bersikap tegas dan memberi sanksi kepada pelaku," ujarnya, seperti dilansir dari keterangan tertulisnya, Rabu (28/2/2024).
Korban Bullying Perlu Dilatih Bersikap Asertif
Margaretha mengatakan, korban juga harus dilatih untuk bersikap asertif. Yaitu berani menghadapi pelaku untuk menghentikan olok-olok atau ejekan secara efektif.
Korban perlu mendapatkan dukungan psikologis agar lebih mampu menyatakan batas-batas secara sehat.
Jadi, jika ada jokes yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri.
"'Saya tidak mau diperlakukan seperti ini.' Korban perlu berani bilang 'Stop, saya nggak suka kamu ngomong kayak gitu.' Atau korban berusaha mengubah pemikirannya dalam menghadapi kata-kata negatif yang selama ini membuat tidak enak," kata dia.
"Misalkan bilang ke diri sendiri –'Kata-kata itu tidak akan melukai saya, saya akan lebih kuat.' Atau ketika upaya asertif belum berhasil, korban juga perlu menentukan batasan tentang kapan dan kemana mencari bantuan," jelasnya.
Baca Juga: Viral Kandungan Bromat dalam Air Mineral, Pakar: Itu Hoaks
Tak hanya korban, pelaku bullying juga perlu diintervensi. Pasalnya, para pelaku bullying adalah individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah secara sehat.
"Pelaku bullying perlu berlatih mengelola emosi solutif dan benar secara sosial. Misalnya, jika mereka tidak suka dengan perilaku seseorang, mereka bisa berbicara dengan sopan dan jujur, tanpa harus memukul atau menyakiti," lanjut Margaretha.
Pelaku bullying juga harus belajar empati, yaitu kemampuan menempatkan diri di posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan.
Riset psikologi menemukan, pelaku perundungan sulit memahami dari perspektif orang lain sehingga sulit berempati. Pelaku cenderung melihat hanya dari cara pandangnya sendiri.
Baca Juga: Berkat CoolMax, Ponsel Gaming Baru Infinix Bakal Tetap Dingin Walau Mabar Brutal
Baca Juga: Samsung Sedang Mengembangkan DRAM 36GB HBM3E 12H Pertama di Industri
"[Dalam pandangan pelaku] korban bullying dilihat sebagai orang lemah yang pantas diperlakukan buruk bukan simpati. Nah, intervensi psikologi akan melatih pelaku memahami posisi si korban," tutur Dosen Psikologi UNAIR itu.
Margaretha menegaskan, setiap siswa di Indonesia berhak untuk belajar tanpa kekerasan dan merasa aman di sekolah. Hal itu telah diatur dalam undang-undang, beberapa di antaranya Sekolah Ramah Anak dan Penghapusan Kekerasan. Maka, jika ada siswa yang merasa tidak aman atau mengalami penindasan di sekolah, mereka berhak melapor dan menuntut hak mereka.
Penyebab Bullying
Lebih lanjut, Margaretha memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi pelaku perundungan. Salah satunya adalah karena mereka belajar menggunakan kekerasan dari rumah atau di interaksi sosial mereka.
"Jadi misalnya anak mengalami kekerasan di rumah. Apabila mereka tidak suka terhadap sesuatu, maka mereka akan memukul atau menggunakan kekerasan. Hal ini masuk dalam alam berpikirnya," ujarnya.
Ia menambahkan, faktor lingkungan yang juga mempengaruhi adalah perilaku teman sebaya.
Baca Juga: Penelitian InMobi: 3 dari 5 Konsumen Indonesia Siap Habiskan Rp3 Juta untuk Belanja Ramadan 2024
Pelaku perundungan tersebut berawal dari rasa tidak suka kepada temannya, yang kemudian dilampiaskan dalam bentuk kekerasan, tuturnya.
"Selain itu, pelaku perundungan biasanya adalah orang yang kurang cakap menyelesaikan persoalan pribadi dan sosialnya. Sehingga mereka menggunakan tindakan kekerasan sebagai cara yang sebenarnya tidak efektif. Atau, kekerasan sebagai pengalihan akibat tidak bisa menyelesaikan persoalan," kata dia lebih jauh.