Peristiwa bullying atau perundungan masih terus kita temui di sekitar kita pada pekan ini, demikian juga di kabar media massa, serta menjadi sumber keriuhan media sosial. Tindak perundungan itu terjadi di kalangan orang dewasa, remaja bahkan anak-anak.
Bullying adalah tindakan agresi, yaitu penggunaan kekerasan dari seseorang kepada yang lainnya. Artinya ada pelaku dan ada korban.
Kekerasan dalam perundungan digunakan secara berulang, bisa dalam bentuk fisik, verbal, emosional, eksploitasi ekonomi, dan penelantaran, serta juga bisa dilakukan secara online.
Ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga Surabaya, Margaretha, menjelaskan perihal data hasil riset, yang mendapati bahwa di antara para remaja usia sekolah, ditemukan sekitar 40% siswa pernah melihat atau terlibat di dalam perundungan.
Ia menilai, masih banyak kesalahan pikir, yang mana orang mengira perundungan adalah hal yang biasa terjadi di antara anak dan remaja, atau disamakan seperti perselisihan antar teman.
"Padahal, perundungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental korban, serta memperburuk kondisi psikologis pelaku," kata dia, dikutip dari laman universitas terkait, Jumat (1/3/2024).
Sebenarnya kalau kita melihat bullying, seharusnya kita menjadi saksi yang melaporkan atau menghentikan, lanjut dia.
"Jadi bukan menjadi pengamat saja (bystander effect), tapi menjadi agent of change. Kita harus berani menyatakan stop bullying, we have to speak up dan jangan mempermaklumkan bullying," kata Margaretha.
Baca Juga: Nubia Meluncurkan 3 Gawai Baru, Flip 5G Jadi Ponsel Lipat Pertama ZTE
Penyebab Seseorang Jadi Pelaku Bullying
Lebih lanjut, Margaretha memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi pelaku perundungan. Salah satunya adalah karena mereka belajar menggunakan kekerasan dari rumah atau di interaksi sosial mereka.
"Jadi misalnya anak mengalami kekerasan di rumah. Apabila mereka tidak suka terhadap sesuatu, maka mereka akan memukul atau menggunakan kekerasan. Hal ini masuk dalam alam berpikirnya," ujarnya.
Ia menambahkan, faktor lingkungan yang juga mempengaruhi adalah perilaku teman sebaya.
Pelaku perundungan tersebut berawal dari rasa tidak suka kepada temannya, yang kemudian dilampiaskan dalam bentuk kekerasan, tuturnya.
"Selain itu, pelaku perundungan biasanya adalah orang yang kurang cakap menyelesaikan persoalan pribadi dan sosialnya. Sehingga mereka menggunakan tindakan kekerasan sebagai cara yang sebenarnya tidak efektif. Atau, kekerasan sebagai pengalihan akibat tidak bisa menyelesaikan persoalan," kata dia lebih jauh.
Perundungan juga biasanya terjadi ketika ada pihak yang lebih kuat sebagai pelaku dan pihak yang lebih lemah sebagai korban.
Baca Juga: Startup Cleantech SUN Energy, Raih Pendanaan Hijau Rp500 Miliar dari PermataBank
Margaretha juga menyarankan, ada peran aktif dari lingkungan sekitar (seperti teman, guru, atau orang tua) dalam mengantisipasi tindak perundungan.
Ia menekankan, lingkungan harus peka dan berani membantu korban, serta menghentikan tindakan perundungan.
"Jangan biarkan korban sendirian menghadapi bullying. Lingkungan harus bersikap tegas dan memberi sanksi kepada pelaku," tegasnya.
Korban Bullying Perlu Dilatih Bersikap Asertif
Berikutnya, korban bullying juga harus dilatih untuk bersikap asertif. Yaitu berani menghadapi pelaku untuk menghentikan olok-olok atau ejekan secara efektif.
Korban perlu mendapatkan dukungan psikologis agar lebih mampu menyatakan batas-batas secara sehat.
Baca Juga: Eratani Gandeng BRI, Mulai Adopsi IoT untuk Sistem Pemupukan yang Tingkatkan Hasil Panen
Jadi, jika ada jokes yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri.
"'Saya tidak mau diperlakukan seperti ini.' Korban perlu berani bilang 'Stop, saya nggak suka kamu ngomong kayak gitu.' Atau korban berusaha mengubah pemikirannya dalam menghadapi kata-kata negatif yang selama ini membuat tidak enak," kata dia.
Baca Juga: Samsung Meluncurkan Kartu MicroSD SD Express, Bisa Memudahkan AI pada Perangkat
"Misalkan bilang ke diri sendiri –'Kata-kata itu tidak akan melukai saya, saya akan lebih kuat.' Atau ketika upaya asertif belum berhasil, korban juga perlu menentukan batasan tentang kapan dan kemana mencari bantuan," jelasnya.