Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia. I-NAMHS merupakan bagian dari National Adolescent Mental Health Survey (NAMHS) yang juga diselenggarakan di Kenya (K-NAMHS) dan Vietnam (V-NAMHS).
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D yang sekaligus sebagai peneliti utama I-NAMHS, memperkenalkan, penelitian ini dikerjakan melalui kerja sama antara UGM, University of Queensland (UQ) Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health (JHSPH) Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Baca Juga: Riset Samsung: Pandemi Mengubah Kebiasaan Tidur, Tak Terkecuali Orang Indonesia
"I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit (prevalensi) enam gangguan mental yang paling umum di antara remaja. yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD)," ungkapnya, Kamis (20/10/2022).
I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan pendidikan. Selain itu mengidentifikasi pula hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.
Pengumpulan data dilaksanakan pada 2021 oleh enumerator yang telah terlatih, untuk melakukan wawancara kepada remaja dan pengasuhnya. Semua proses pengumpulan data dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan.
Satu Dari Tiga Remaja Indonesia Alami Masalah Mental
Siswanto menjelakan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 5.664 remaja dan pengasuhnya berpartisipasi dalam I-NAMHS.
I-NAMHS menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Sementara itu, satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
"Angka ini setara dengan 15.5 juta dan 2.45 juta remaja," ujarnya.
Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki, -dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5)-, yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
"Gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7 persen; diikuti oleh gangguan depresi mayor 1,0 persen; gangguan perilaku sebanyak 0,9 persen; gangguan PTSD dan gangguan ADHD, masing-masing sebesar 0,5 persen," jelasnya.
Ironi: Fasilitas Kesehatan Banyak, Yang Mencari Bantuan Sedikit
I-NAMHS juga mengungkap, meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka.
Menurut penelitian itu, kata Siswanto, hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling, untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir.
Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka.
Temuan I-NAMHS juga memperlihatkan bahwa kebanyakan (38,2%) pengasuh remaja memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka. Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua perlima (43,8%) melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan.
"Dikarenakan mereka lebih memilih untuk menangani sendiri masalah remaja tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman," imbuhnya.