Techverse.asia - Selama masa pemulihan ekonomi usai pandemi Covid-19, tingkat kepercayaan diri konsumen Indonesia rupanya tak seoptimistis sebelumnya. Hal ini dikarenakan kenaikan harga pangan serta ancaman kemrosotan ekonomi terus jadi faktor utama yang menjadi beban pikiran konsumen, sehingga mereka lebih berhati-hati dan lebih strategis dalam membelanjakan uangnya.
Baca Juga: Nike Zoom Fly 6 Tersedia Awal November 2024, Dirancang Buat Lari Jarak Jauh
Bahkan, kekhawatiran tersebut telah memicu 83% konsumen secara aktif mencari penghasilan tambahan di luar pekerjaan utama mereka dan 23% menyebutkan akan menambah utang mereka guna mencukupi kebutuhan dan gaya hidup mereka.
Hal tersebut terungkap dalam laporan riset 'Mid-Year Consumer Outlook: Guide to 2025' yang telah dirilis oleh NielsenIQ (NIQ), perusahaan consumer intelligence. Riset ini melibatkan sebanyak 10 ribu responden rumah tangga yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia.
FMCG Commercial Leader NIQ Indonesia Dena Firmayuansyah mengatakan, para pelaku industri sebaiknya selalu memantau perilaku belanja konsumen saat Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh lebih tinggi dari inflasi tapi tingkat keyakinan konsumen tidak lagi setinggi sebelumnya. Pasalnya, ini menandakan adanya ketidakpastian yang mendasari mengenai masa depan.
Baca Juga: 90% Penduduk Asia Tenggara Memilih Instagram dan WhatsApp untuk Kemudahan Berbelanja
"Pengeluaran mungkin akan terus berlanjut, tetapi bisa menjadi ragu-ragu dalam membuat komitmen keuangan untuk jangka panjang, juga konsumen mungkin akan mengalihkan perilaku belanja mereka ke barang-barang yang lebih penting, lebih menekan pengeluaran mereka bakal cenderung memilih produk-produk yang diskon," paparnya.
Akibat terdesak oleh kebutuhan, sambung dia, konsumen di Tanah Air akan tetap membelanjakan uang mereka untuk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) meski terjadi kenaikan harga. Kendati demikian, sekarang mereka jadi lebih eksperimental guna memperoleh pengalaman yang lebih banyak serta lebih baik dari produk-produk yang mereka beli.
"Selain itu, mereka juga semakin selektif terhadap pilihan merek," katanya.
Guna menghemat pengeluaran belanja FMCG, konsumen menerapkan beberapa strategi, seperti belanja daring guna memperoleh penawaran yang lebih bagus (46%), mengendalikan keranjang belanja dengan mengutamakan produk kebutuhan primer (46%), beralih ke produk yang harganya lebih murah (38%), serta membeli barang yang didiskon (36%).
Baca Juga: Di mana Orang Indonesia Sering Belanja Bahan Makanan? Ini Jawabannya!
Dampak perilaku belanja konsumen yang eksperimental dan selektif itu membuat posisi top 5 brand tidak aman dan terus mengalami penurunan sales value. Top brand sereal misalnya, konsisten turun sejak 2022 (85%) menjadi 84% pada tahun lalu dan 83% pada tahun ini.
Top brand untuk cooking milk pun anjlok secara perlahan dari 93% (2022) menjadi 91% (2023) dan 89% (2024). Kemudian diikuti oleh merek minyak goreng yang juga turun dari 50% pada 2022 menjadi 42% pada 2024.
Temuan lainnya menunjukkan bahwa konsumen Indonesia masih percaya diri, namun tidak sebesar sebelumnya. Konsumen yang masih tercatat punya tabungan dan merasa aman secara finansial turun dari 26% pada pertengahan tahun lalu menjadi cuma 13% pada pertengahan tahun ini.
Baca Juga: Laporan Mastercard Economics Institute: Konsumen Punya Dana Lebih untuk Belanja Barang Opsional
"Sedangkan mereka yang sebenarnya tidak berdampak secara keuangan tapi lebih berhati-hati dalam segi pengeluaran, naik dari 24% pada 2023 menjadi 41% pada 2024," tambahnya. Untuk itu, NIQ Indonesia, menyarankan agar industri beradaptasi secara strategis terhadap perubahan dan lanskap yang makin kompetitif menuju 2025.
Mulai dari menyeimbangkan antara harga yang terjangkau dan value, memberikan diferensiasi produk untuk mempertahankan loyalitas, memanfaatkan teknologi untuk menjangkau konsumen dan menawarkan pengalaman belanja yang lebih dipersonalisasi melalui berbagai platform digital, termasuk menyediakan produk premium dan kenyamanan bagi konsumen yang bersedia membayar lebih.