Sebuah studi yang dirilis oleh American Medical Association baru-baru ini, menunjukkan bahwa anak-anak yang bermain video game menunjukkan 'enchanced cognitive performance' atau peningkatan kerja kognitif, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak bermain game.
Baca Juga: Warner Bros. Games Umumkan Mortal Kombat: Onslaught, Games Yang Meluncur Ke Ponselmu 2023 Mendatang
Namun untuk berita buruknya, ada beberapa efek samping yang kurang diinginkan pada kekuatan super yang baru ditemukan dalam aspek kognitif tadi.
Pekan lalu, sebuah studi terpisah dari University of Texas di Austin menemukan hubungan antara game dan seksisme, rasisme, begitu juga ideologi ekstrimis.
Meskipun ini bukan menjadi berita baru, -terutama bagi penyuka game Call of Duty- , penelitian ini melacak efek yang mengkhawatirkan ke dalam perilaku dunia nyata. Hal itu memberikan kredibilitas pada gagasan yang ada, bahwa komunitas game tertentu membantu kelompok ‘ekstrimis’ untuk meradikalisasi kaum muda dengan ideologinya.
Penelitian itu juga menyebut, biasanya masalah ini terutama dibahas dalam kaitannya dengan laki-laki muda, yang berjalan berdekatan dengan kekerasan gender yang marak dalam budaya incel. Lebih khusus lagi penelitian ini meneliti fenomena psikologis yang dikenal sebagai Identity Fushion, di mana anggota individu dari suatu kelompok mengalami rasa kesatuan yang dalam dengan kelompok itu, yang berkaitan di dalam permainan.
Baca Juga: Flohio Rilis 'Out Of Heart', Representasi Kenangan Bermain Game Di Waktu Kecil
Lewat tiga penelitian UT Austin, terlihat bahwa perpaduan dengan budaya permainan adalah sebuah prediksi unik dari sejumlah hasil yang merusak secara sosial. Termasuk rasisme, seksisme, dan dukungan terhadap perilaku ekstrem. Tentunya tidak mengherankan, itu juga menunjukkan bahwa atribut kepribadian seperti keterikatan yang tidak aman dan kesepian memperkuat dukungan untuk perilaku ekstrimis ketika dikombinasikan dengan perpaduan budaya permainan.
Pertanyaan yang diajukan selama tiga studi ini mengeksplorasi tingkat perpaduan identitas gamer, kesediaan mereka untuk berjuang atau mati demi budaya game, dan keberadaan ciri-ciri kepribadian Dark Triad (narsisme, Machiavellianisme, dan psikopatsm).
Baca Juga: Serius Garap Games, Netflix Buat Studio Sendiri Di Finlandia
Para peneliti juga mengukur identifikasi gamer dengan ideologi sayap kanan, misalkan seperti ekstrimis nasionalis, white folks, dan seksisme, kepercayaan pada Qanon, dan perilaku agresif akhir-akhir ini.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah budaya game dikaitkan dengan several markers of extremism termasuk kemauan untuk memperjuangkan budaya game. Ciri kepribadian Dark Triad, seksisme, rasisme, dan perilaku agresif, bahkan dengan variabel seperti gender dan keyakinan politik yang sudah ada sebelumnya diperhitungkan.
Tentunya tidak semua game buruk, selalu ada sisi positifnya. Seperti misalnya Call of Duty memiliki redeeming fitur, game lainnya yang disurvei untuk penelitian ini seperti Minecraft juga menunjukkan beberapa hasil sosial yang positif, seperti ikatan sesama pemain.
Studi UT Austin menyimpulkan, mekanisme psikologis yang membantu ideologi ekstrimis berkembang biak di antara para gamers masih belum jelas. Meskipun penelitian di masa depan akan membantu menentukannya dan mengembangkan perlindungan yang diperlukan. Ini sangat penting, mengingat studi American Medical Association menunjukkan dampak positif game pada berbagai proses kognitif dari anak, termasuk dari memori, hambatan, penghambatan respons, perhatian, dan juga pemrosesan visual.
Jika bermain game dapat membantu generasi mendatang menjadi lebih pintar, itu sangat bagus untuk tumbuh kembang anak. Namun akan sangat berbanding terbalik jika game hanya sebagai medium untuk menuntun anak ke ranah yang lebih buruk.
Dalam perkembangan zaman, tidak bisa kita nafikan bagaimana munculnya game sebagai gaya hidup baru bagi generasi saat ini. Namun alangkah baiknya juga jika menuntun anak untuk tidak rasis, seksis, atau agresif.