Hustle culture atau bekerja keras bagai kuda sempat menjadi sebuah tren di kalangan pekerja, khususnya di kota-kota besar. Mereka yang menerapkan hustle culture biasanya memiliki jam kerja tinggi.
Orang yang menerapkan hustle culture biasanya melakukan itu agar mendapatkan hasil kerja atau pendapatan lebih besar dari biasanya, tujuannya untuk memenuhi kebutuhan atau target-target tertentu dalam hidup mereka.
Sejumlah pihak mulai menyadari efek buruk dari budaya ini. Misalnya saja seperti dilihat dari laman Deloitte dan dilansir Techverse.asia pada Sabtu (5/11/2022).
Deloitte pernah melakukan studi terhadap sedikitnya 1.000 orang pekerja penuh waktu di berbagai sektor di Amerika Serikat. Dari jumlah itu, sebanyak 77% orang pernah mengalami burnout dalam pekerjaan mereka dan 42% telah meninggalkan pekerjaan mereka karena mereka merasa kelelahan.
"Ini adalah hasil dari tekanan mental dan emosional. Karena bekerja berjam-jam dan berusaha untuk memenuhi harapan yang tidak realistis yang ditetapkan oleh ekses racun budaya hiruk-pikuk," sebut laman itu.
Burnout adalah salah satu bahaya pekerjaan yang paling berbahaya dan diabaikan secara luas, memperlambat produktivitas dan menurunkan kepuasan kerja.
Akibat kondisi itu, selanjutnya muncul tren yang disebut sebagai The Great Resignation. Ditandai dengan sejumlah besar karyawan berhenti karena kelelahan dan ketidakpuasan karir. Eksodus karyawan dari organisasi, telah menyebabkan 52% karyawan yang tersisa (pada 2021) di perusahaan harus mengambil lebih banyak pekerjaan dan tanggung jawab, karena rekan kerja mereka mengundurkan diri. Selanjutnya, 30% lainnya mengatakan mereka berjuang untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
CEO Desk Time -sebuah aplikasi pelacakan waktu dan produktivitas untuk perusahaan dan pekerja lepas-, yakni Artis Rozentals, ia mengungkap bahwa munculnya budaya hiruk-pikuk dalam beberapa tahun terakhir disambut dengan reaksi yang hampir sama cepatnya.
Promotor hustle culture, sering bersemangat dan menarik, menulis dan berbicara dengan terengah-engah tentang kerja keras.
Mereka jugalah yang mempromosikan soal bagaimana bakat adalah yang kedua.
"Dan kesuksesan Anda bergantung pada jam yang Anda rela lakukan dan pengorbanan yang bersedia Anda ambil. Tentang menyelesaikan sesuatu sementara yang lain duduk dan menunggu," sebut Artis mengulang apa yang disampaikan para promotor hustle culture.
Hustle culture menempatkan pekerjaan sebagai pusat kehidupan. Jam kerja yang panjang dipuji dan dimuliakan. Waktu istirahat dianggap sebagai kemalasan. Jika kamu tidak terburu-buru, maka kamu gagal.
"Betapapun saya menyukai antusiasme dari banyak pendukung hustle culture ini, ketika sampai pada gagasan untuk terus-menerus bergegas, saya tidak pernah bisa sepenuhnya menerimanya. Karena tidak ada orang yang bisa bekerja tanpa istirahat," ucapnya.
"Pada titik tertentu, Anda harus benar-benar memutuskan hubungan dari pekerjaan dan membiarkan otak Anda rileks. Itu bukan tanda kemalasan, ini biologi. Jika tidak, gaya hidup 'selalu aktif' seperti itu pasti akan menyebabkan kelelahan," ungkapnya.
Menurut Artis, kesibukan tanpa akhir tidak menguntungkan siapa pun. Karyawan menjadi tidak puas dan tidak produktif, sementara majikan membayarnya. Telah dihitung bahwa, karyawan yang kelelahan dan tidak terlibat akan membebani perusahaan sebanyak 34% dari gaji tahunan mereka.
"Alih-alih mendukung hustle culture, saya selalu mendukung budaya istirahat. Yakni budaya yang mempromosikan istirahat kerja reguler dan keseimbangan kehidupan kerja," tegasnya.
Berlawanan dengan budaya hustle culture, budaya istirahat memprioritaskan kesehatan mental dan mendorong orang untuk bekerja lebih sedikit. Tetapi dengan pikiran yang lebih jernih dan fokus.
Untuk mendapatkan lebih banyak kejernihan mental, orang membutuhkan jadwal yang lebih jelas.
Mereka membutuhkan waktu untuk mematikan pikiran mereka untuk memulai kembali fokus mereka.
"Dan ada banyak data yang menunjukkan bahwa, orang yang paling produktif adalah mereka yang rutin istirahat di tempat kerja, bukan mereka yang sibuk 24/7," tandas Artis.
Kelelahan bukan hanya menghabiskan energi dan kreativitasmu, melainkan juga menimbulkan kemerosotan etos kerja. Masih tertarik menjadi pengabdi kerja keras bagai kuda, bestie?