Gerhana bulan total bisa disaksikan oleh warga di banyak wilayah di Indonesia pada hari ini, Selasa 8 November 2022. Pada saat terjadi Gerhana Bulan Total, terjadi fenomena yang disebut dengan Blood Moon (Bulan Darah). Saat itu terjadi, hampir sebagian besar sekitar bulan terlihat berwarna kemerahan yang muncul menutupi permukaan bulan.
Bagaimana Blood Moon itu dapat terjadi?, sebetulnya bulan tidak hanya menjadi gelap ketika memasuki bayangan bumi, -karena biasanya sinar bulan hanya memantulkan sinar dari matahari-, sementara itu sebagian besar sinar matahari terhalang selama gerhana bulan, sebagian sisanya menutupi tepi dari planet kita.
Tepi yang dimaksud ini adalah dimana kita dapat melihat matahari terbit dan tenggelam. Hal itu menyaring panjang gelombang yang lebih pendek dan lebih biru, dan hanya memungkinkan panjang gelombang yang lebih merah dan lebih panjang untuk memancarkannya ke bulan.
"Cara yang sangat romantis untuk melihatnya adalah seperti melihat semua matahari terbenam dan Matahari terbit di Bumi pada satu waktu,” kata Kepala Ilmuwan di Planetary Society, Dr. Bruce Betts, dikutip dari Forbes.
Zaman dulu, Blood Moon dianggap sebagai ramalan adanya sebuah bahaya atau kekacauan yang akan muncul di bumi ini.
"Bagi banyak budaya, hilangnya bulan dipandang sebagai masa bahaya, atau kekacauan," kata seorang Astronom di Universitas George Washington, Shanil Virani.
Beberapa yang meyakini hal itu misalnya Suku Inca. Dalam Express.co.uk misalnya, seorang peneliti di Lawrence Livermore National Laboratory di California, yakni David Dearborn, telah banyak menulis tentang bagaimana Inca memandang astronomi.
"(The Inca) tidak melihat gerhana sebagai sesuatu yang baik sama sekali," ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa menurut catatan dari pemukim Spanyol, ada beberapa mitos dan praktik seputar gerhana. Salah satu mitos adalah bahwa selama gerhana bulan, di mana cahaya dibiaskan di atmosfer bumi mengubah bulan menjadi warna kemerahan, jaguar telah menyerang dan memakan bulan.
Gerhana Tidak Selalu Merah
Sebetulnya, tidak semua gerhana juga menghasilkan warna merah tua. Sama seperti intensitas ketika matahari terbit atau terbenam, yang dapat bervariasi dari hari ke hari, demikian juga warna gerhana. Sebagian besar hal itu tergantung dengan partikel atmosfer planet kita.
Asap api atau debu vulkanik dapat memperdalam rona merah matahari terbenam, dan juga dapat mempengaruhi rona bulan dalam gerhana. Tetapi, jika atmosfer sangat cerah selama gerhana bulan, akan lebih banyak cahaya yang akan masuk dan menyebabkan Blood Moon akan semakin terang, bahkan akan merubah warnanya ke oranye kemerahan.
Oleh karena itu, warna bulan dapat mengungkapkan tanda-tanda dari atmosfer bumi kita, sebuah trik yang dapat digunakan untuk pengamatan planet-planet di sekitar bintang-bintang yang jauh di masa depan.
Para Astronom biasanya tidak mengamati exoplanet secara langsung. Sebaliknya, mereka mencari transit, atau tanda blip ketika sebuah planet melintas di depan bintang induknya.
Selama waktu tersebut, cahaya bintang disaring melalui atmosfer planet ekstrasurya dengan cara yang sama seperti selama gerhana bulan. Sinar matahari melewati bumi sebelum menyentuh bulan.
Para Astronom dapat memperlakukan gerhana bulan sebagai proxy untuk transit planet ekstrasurya.
“Pada dasarnya menggunakan bulan sebagai cermin untuk mengamati Bumi yang sedang transit Matahari,” kata Allison Youngblood, Astronom di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Md.
Januari 2019, Dr. Youngblood dan rekan-rekannya melatih Teleskop Luar Angkasa Hubble untuk bulan selama gerhana bulan total terjadi. Karena bahan kimia di atmosfer bumi menghalangi panjang gelombang tertentu dari sinar matahari untuk mencapai bulan, sehingga meninggalkan penurunan dalam spektrum yang diamati oleh tim Dr. Youngblood.
“Hal ini seperti practice round,” kata Dr. Youngblood.
Dengan memperlakukan bumi sebagai planet ekstrasurya, para astronom dapat memeriksa ulang apakah mereka mendeteksi detail atmosfer dengan benar saat mengamati bintang-bintang.