Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia diketahui telah memblokir 7.089 perusahaan financial techology (fintech) tak berizin atau ilegal, dari berbagai platform digital. Jumlah itu tercatat sejak pemblokiran dilakukan pada 2017 hingga awal Desember 2022.
Menteri Kominfo RI Johnny G Plate mengatakan, pemblokiran itu menjadi upaya melakukan penanganan pinjaman online ilegal di ruang digital bersama Satgas Waspada Investasi (SWI). Yang diblokir oleh pemerintah mulai dari konten fintech ilegal di media sosial, file-sharing, ataupun aplikasi fintech tanpa izin.
Menurut dia, kementerian memiliki sistem surveilans untuk mengawasi ruang digital agar digunakan sebagaimana mestinya.
"Surveillance systems Kominfo baik alphabetic maupun numerical terus bekerja around the clock, 24 jam non-stop, tujuh hari seminggu tanpa henti, bersama-sama untuk mengawasi melakukan pengawasan di ruang digital," kata dia dalam laman kementerian, Rabu (14/12/2022).
Selain memantau, pemerintah terus mendorong pertumbuhan fintech di Indonesia dengan menghadirkan ekosistem digital yang kondusif, melalui berbagai kebijakan. Tak terkecuali dalam konteks penanganan berbagai konten fintech yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Selain itu, guna menghadirkan transaksi keuangan yang aman dan terpercaya, Johnny menyatakan keamanan bertransaksi secara digital terus diperkuat dari segi regulasi melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
Menurutnya, aturan yang disahkan pada September 2022 itu dibuat untuk mendorong keamanan data pribadi dalam transaksi keuangan, serta memfasilitasi penyediaan sertifikasi elektronik.
"UU ini berlaku bagi seluruh pihak yang memproses data pribadi masyarakat termasuk lembaga perbankan," ungkapnya.
"Sekali lagi, Undang-Undang Pelindungan data Pribadi berlaku bagi seluruh pihak yang memproses data pribadi masyarakat termasuk lembaga perbankan, lembaga keuangan non-bank, dan fintech," jelasnya sembari mengulangi kalimatnya sendiri.
Kementerian Kominfo, saat ini juga tengah menyiapkan aturan pelaksana UU PDP terkait dengan kelembagaan perlindungan data pribadi. Berbentuk peraturan presiden (Perpres) serta ketentuan pelaksana UU PDP berupa peraturan pemerintah (PP).
"Sosialisasi dan komunikasi juga terus dilakukan hingga pascaberakhirnya masa peralihan dua tahun. Sehingga UU PDP tetap dapat dilaksanakan secara komprehensif," sambungnya.
Mengulik soal pertumbuhan pendanaan start up digital termasuk fintech di Indonesia saat ini, Johnny menjelaskan, terjadi penurunan aliran pendanaan start up digital di wilayah Asia mencapai 60% year on year, dan 33% quarter to quarter pada triwulan ke-III tahun 2022.
Meski demikian, nilai transaksi sektor fintech Indonesia, dengan Compounded Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 39%, tertinggi kedua di antara negara-negara G20.
Performa unggul ini menunjukkan bahwa, Indonesia mampu menyikapi masa pandemi Covid-19 secara progresif, sebagai momentum akselerasi digitalisasi sektor jasa keuangan di Indonesia.
"Fintech is here to stay with a bright future, terlepas dari tech winter. Dengan CAGR sebesar 15% tahun 2022 hingga 2027 prognosisnya, nilai transaksi sektor fintech global diperkirakan mencapai USD28 triliun pada 2027," tebak Johnny.
Kondisi optimistik ini turut dialami atau diproyeksikan oleh sektor fintech Indonesia.
Nilai transaksi kotor/gross transaction value di sektor digital payment, berada di kisaran USD266 miliar dan diproyeksikan akan mencapai sekitar USD431 miliar pada 2025 dengan CAGR 17%.
Dalam merealisasikan potensi tersebut, pelaku sektor fintech perlu terus berinovasi seiring dengan perkembangan teknologi digital, kata dia.
Adopsi teknologi membutuhkan kolaborasi multipihak, baik itu sektor industri, pemerintah, serta pemangku kepentingan terkait.
"Demi memastikan terwujudnya ekonomi digital nasional yang aman, diadopsi oleh SDM yang cakap, memberikan dampak sosial ekonomi yang tepat sasaran, eksponensial, serta berkelanjutan. Menuju Indonesia terkoneksi, makin digital makin maju," pungkasnya.