Sebuah tulisan di laman media Mongabay, mengabarkan nasib Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Bambu (PLTBm), yang dibangun pada 2018 di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Dilansir dari laman Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, PLTBm tersebut berdiri di tiga desa yang terletak di Pulau Siberut.
Fasilitas ini berkapasitas total 700 kW, untuk menerangi 1.233 Kepala Keluarga (KK). Berada di Desa Saliguma kapasitas 250 Kwh, Madobag (300 kwh) dan Matotonan (150 Kwh).
PLTBm dibangun untuk menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), yang telah beroperasi di Pulau Siberut dengan kapasitas 1.300 kW.
Tetapi seorang warga Dusun Rogdok, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, bernama Malaikat Sarogdok, mengungkap nasib pemanfaatan PLTBm itu.
Kepada Mongabay, Malaikat mengungkap, jauh sebelum ini, di sana sama sekali tak ada penerangan. Mereka pakai lampu minyak. Begitu hari berganti malam, semua warga memilih tidur.
Hingga kemudian ada pembangkit listrik tenaga biomassa atau PLTBm berbahan bakar bambu, beroperasi pada 2019.
Lalu bagaimana dengan hari ini?
Dalam laporan Mongabay yang kami kutip pada Jumat (13/1/2023), Malaikat mengatakan, listrik yang dinikmati di sana sekarang berasal dari diesel Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Hanya menyala dari pukul 18.00 WIB hingga 00.00 WIB.
Kebahagiaan yang Sementara
Pemerintah sudah sosialisasi dan membangun PLTBm bertenaga bambu di Rogdok sejak 2017.
Dan ketika pembangkit biomassa itu beroperasi, bambu di masyarakat jumlahnya terbatas. Sehingga pemerintah memberikan bantuan bibit bambu, namun jenisnya berbeda dengan yang biasa tumbuh di Mentawai. Kulit pohon lebih tebal dan diameter sedikit lebih besar.
Kemudian, pada 2019 PLTBm beroperasi. Tetapi dalam hitungan bulan, PLTBm mulai bermasalah. Karena persediaan bambu tak mencukupi, maka bahan bakar bambu diselang-seling dengan kayu.
Drama pemanfaatan PLTBm diselipi dengan terjadinya kerusakan mesin pembangkit. Warga kembali menggunakan lampu minyak.
Situasi ini menyebabkan bambu-bambu bantuan yang ditanam di ladang tak lagi berharga. Bambu juga mulai mengganggu tanaman warga lain dan dianggap 'hama'. Sebagian warga kemudian menebang tanaman bambu mereka.
Di desa lain yang juga dibangun PLTBm, yakni Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah, ada cerita berbeda tentang pemanfaatan pembangkit ini.
Meski harus mendapatkan bahan baku bambu yang dipasok dari wilayah lain, awalnya warga setempat terbantu. Tetapi PLTBm ternyata tak berjalan normal.
Pembangkit sempat ditenagai oleh pembakaran kayu-kayu lunak yang dipotong kecil-kecil sepanjang jari kelingking. Kayu itu dibayar Rp700 per Kilogram.
Kepala Dusun Silabok Abak, Desa Saliguma, yakni Muksin Sakorokoinan, mengungkap kalau awalnya warga cukup antusias gunakan listrik biomassa bambu. Mereka membeli televisi, kulkas dan alat elektronik lain.
"Belum tiga bulan, televisi dan kulkas itu mati. Rusak," kata Muksin.
Laman ini juga menyebut, pada sekitar 2020 bahan baku yang tadinya kayu kemudian berganti solar. Dan pada 2022 PLN membantu mesin diesel, PLTBm berhenti total.
Awalnya Dibangga-banggakan Bakal Bantu Negara Berhemat
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI, kala itu dijabat oleh Bambang Brodjonegoro menyebut, dibandingkan PLTD, PLTBm berpotensi membantu penghematan Rp14 miliar per tahun.
Selain penghematan, pendapatan masyarakat juga meningkat. Hal itu seiring dengan adanya pembelian bambu dari kebun masyarakat setempat, dan penyerapan tenaga kerja sebesar Rp2 miliar per tahun.
Pembangunan tiga PLTBm ini diklaim mengusung konsep Three in One Development.
Pertama, PLTBm menyediakan energi listrik untuk daerah yang sama sekali belum teraliri listrik. Dengan pembangunan pembangkit ini, Indonesia dapat menambah rasio elektrifikasi nasional.
Kedua, PLTBm menjadi salah satu upaya pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), khususnya tenaga biomassa yang masih belum banyak dikembangkan. Ini menjadi bagian dari upaya pemerintah mewujudkan target 23% porsi EBT dalam bauran energi pada 2025.
Ketiga, pembangunan PLTBm ini juga bagian pembangunan daerah 3T atau Tertinggal, Terdepan dan Terluar. Pembangunan PLTBm menunjukkan bahwa negara hadir di setiap titik wilayah NKRI.
Apakah akan ada langkah lanjutan dari pemerintah, di tahun 2023 ini, untuk membuat PLTBm bertenaga bambu kembali beroperasi optimal?