Teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan memberikan kita kemudahan beraktivitas di banyak sektor. Bukan hanya mendukung pekerjaan, AI juga mengakomodasi kebutuhan kita akan hiburan dan akses pembaruan digital.
Maraknya kemunculan Artificial Intelligence (AI) menuai banyak pro kontra. AI dibuat dengan tujuan utama memudahkan berbagai aktivitas manusia, namun keberadaannya justru dianggap menghilangkan unsur manusiawi dalam sebuah sistem.
Menanggapi hal tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) membentuk forum AI Society. Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof. Dr. Wening Udasmoro menjelaskan, Forum AI Society UGM ini memang khusus dibentuk untuk menanggapi isu AI saat ini.
"Kami ingin melihat sebenarnya bagaimana saja persoalan AI bisa muncul. Sebagai salah satu perguruan tinggi di Indonesia, kami mencoba berinisiatif untuk melihat AI dari berbagai sisi," kata dia, dilansir dari website universitas, Senin (13/3/2023).
Tiidak hanya sebagai forum diskusi, AI Society juga berusaha merintis nilai-nilai baru berbasis AI dan leadership.
Wening mengungkapkan, terdapat tiga komponen utama yang perlu diperhatikan di era AI ini. Pertama adalah leadership, tentang bagaimana inklusivitas harus diwujudkan dalam sistem. Kedua adalah culture, melalui inovasi dan kolaborasi yang membentuk budaya, dan ketiga adalah kejelasan tujuan dalam setiap langkah.
"Kami ingin AI ini menjadikan penggunanya tetap berada dalam moral-moral dan nilai-nilai yang harus dipertahankan. Jadi jangan sampai dengan adanya AI, ada aspek-aspek ethical yang kita tinggalkan," tutur dia.
Keberadaan AI tidak seharusnya dimanfaatkan hanya untuk mendapatkan kemudahan, namun justru bisa menjadi peluang untuk memunculkan inovasi dan penelitian baru. Untuk mencapai hal tersebut, tentunya diperlukan kerja sama antara berbagai stake holders, termasuk masyarakat, pemerintah, akademisi, dan industri.
Dosen Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM, Mardhani Riasetiawan, menuturkan tentang bagaimana masyarakat saat ini dituntut untuk ikut mengikuti berkembangnya teknologi.
"Starting point untuk mendesain advanced techonology map ini adalah berpikir secara global, tidak lagi lokal. Ini juga menjadi salah satu langkah untuk mewujudkan visi Indonesia di 2045," ujarnya.
Visi menuju dunia dengan AI ini membuka ruang baru yang sangat luas, baik dalam konteks peluang maupun tantangannya. Dibutuhkan kolaborasi dan sinergi yang mumpuni dengan berbagai pihak agar menciptakan lingkungan berteknologi yang baik.
Harapannya, dibentuknya AI Society UGM mampu memfasilitasi langkah tersebut sebagai bentuk kontribusi lembaga akademis bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat digital.
Seperti kita ketahui bersama, teknologi kecerdasan buatan terlihat canggih dan serba bisa, bahkan ia mampu membuat kerja lebih efisien dan efektif. Namun, yang namanya teknologi buatan manusia tentu tetap ada cacat atau sisi kurangnya.
AI membawa banyak sekali pertanyaan yang timbul, seperti halnya akankah AI benar-benar dapat mempercepat pekerjaan kita? Akankah AI dapat menjaga privasi kita?
Setelah itu, ekspektasi kita kemudian akan menuju pada pertanyaan seperti apa pengembangan kecerdasan buatan di tahun-tahun berikutnya?
Seorang peneliti kebijakan senior di Mozilla Foundation, Maximilian Gahntz, menjelaskan bahwa walaupun AI adalah hal yang menarik dan merupakan perangkat yang kreatif, hari ini harus diakui jika dunia AI masih belum bisa dikatakan aman untuk privasi kita.
Akademisi Universitas Cambridge itu melanjutkan, AI terbukti mereproduksi sebuah bias yang berbahaya, dan dapat memuat sebuah konten disinformasi.
"Sebagai salah satu contohnya adalah Stable Diffusion, yang mengumpankan miliaran gambar di internet, hingga mengasosiasikan kata dan konsep tertentu. Text-generatingnya dapat mudah saja diakali untuk mendukung pandangan yang cukup ofensif, atau menghasilkan konten yang menyesatkan," kata dia, dalam laman Mozilla Foundation, dirangkum Techverse.Asia, beberapa waktu lalu.
Di masa depan, sepertinya para pengembang kecerdasan buatan juga sudah seharusnya mempersiapkan ruang untuk memperkecil kemungkinan peretasan.
Majalah digital Nirmagz mengulas, kecerdasan buatan dapat memberikan ruang untuk otomatisasi tindakan jahat. Baik itu phising, pengiriman virus ke perangkat lunak, dan memanfaatkan sistem AI itu sendiri. Sehingga, untuk mengatasi hal tersebut, tentunya harus segera ada pembentukan peraturan global mengenai kecerdasan buatan dan tindakan digital.
"[Langkah] menentukannya, dari bagaimana perspektif pemerintah untuk memungkinkan interaksi global yang aman serta efektif, dalam AI," tulis majalah itu.
Aturan-aturan tersebut harus transparan dan dapat beradaptasi dengan bagaimana lingkungan digital ini terbentuk.
Dengan tidak ada batasan dalam suatu hal, maka timbulnya tindak kejahatan dalam ruang digital tidak akan mampu dikendalikan. Akan banyak sekali peluang para pengguna kejahatan tersebut untuk mengambil data-data privat dari kita semua.