Techverse.asia - Pandemi Covid-19 telah menghadirkan berbagai tantangan inovasi dan teknologi dalam segala lini kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Salah satu yang menjadi tantangannya adalah keberadaan Open Artificial Intelligence (AI) atau ChatGPT. Untuk itu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar University Leaders Forum dengan tema “The Innovation Challenge and The Pandemic Legacy” pada Kamis (16/3/2023) bertempat di Gedung AR Fakhruddin A lantai 5 UMY.
Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa narasumber, yaitu Prof. Dr. Ir. Gunawan Budianto MP, IPM, ASEAN, Eng (Rektor UMY), Prof. Ir. Ts. Dr. Abu Hassan Abdullah (Dekan Fakulti Kejuruteraan dan Teknologi Elektrik, Universiti Perlis Malaysia), Professor Yinghuei Chen, PhD (Dean Of International Collage, Asia University Taiwan), Rhoderick V. Nuncio, PhD (Dean Collage Of Liberal Arts, De La Salle University, The Phillipines) dan Professor Antonio Moreno Sandoval (Director Of The Catedra UAM-ADIC In Computational Linguistics, Universidad Autonoma de Madrid). Forum ini juga dihadiri oleh Dr. Son Jin-Hee (Dean of Global Affairs) dan Mr. Jun Dong Ho (Chief Manager of Global Admissions) dari Sun Moon University, Kotea Selatan, serta beberapa pimpinan perguruan tinggi di Indonesia.
Baca Juga: LinkedIn Tambahkan Alat AI untuk Membuat Salinan Profil dan Deskripsi Pekerjaan
Dalam kesempatan tersebut, masing-masing narasumber bercerita bagaimana universitasnya menghadapi tantangan selama masa pandemi Covid-19. Dengan salah satu fokus utamanya adalah tantangan keberadaan ChatGPT bagi dunia pendidikan.
Rektor UMY, Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, MP, IPM, ASEAN. Eng mengatakan bahwa selama pandemi, penyelenggaran fasilitas pendidikan memang menghadapi tantangan baru yang dapat mengubah pola kegiatan dan proses pembelajaran di kampus. Untuk itu, universitas pun harus menyiapkan diri untuk menghadapi perkembangan teknologi tersebut.
“Tapi kami percaya bahwa seluruh universitas itu harus siap untuk menghadapi fenemona baru ini,” ungkapnya.
Menurutnya, teknologi yang diterapkan pasca pademi seperti dua sisi mata uang, ada yang negatif dan ada yang positif. Ia menekankan perlunya peran dari seluruh universitas di dunia guna mengatasi penyalahgunaan dan penerapan teknologi.
“Untuk itu, universitas dunia harus saling bekerja sama dalam mengatasi penyalahgunaan dari penerapan teknologi dalam proses pembelajaran pasca pandemi, apalagi dengan adanya Artificial Intellegent/ChatGPT,” ujar dia.
ChatGPT adalah sebuah perangkat lunak berupa model bahasa generatif dengan menggunakan teknologi canggih untuk menjawab apapun yang ditanyakan oleh penggunanya. Secara sederhana ChatGPT merupakan sebuah chatbot atau program yang bisa mensimulasikan percakapan seperti layaknya manusia.
Seperti diketahui bersama bahwa sekarang ini ramai diperbincangkan soal aplikasi ChatGPT yang merupakan singkatan dari Generative Pre-Trained Transformer menjadi robot percakapan berbasis AI yang menjawab berbagai pertanyaan.
Baca Juga: Pakar: Karya Ilmiah Hasil Platform Kecerdasan Buatan Berpotensi Terkena Plagiarisme
Penggunaan chatbot pintar ini sedikit banyak bisa digunakan membantu mahasiswa dalam menyusun penulisan karya ilmiah seperti makalah, skripsi hingga tesis. Namun begitu, penggunaan data dari robot percakapan ini berpotensi melahirkan plagiarisme dan melanggar etika akademik.
Hal selaras juga disampaikan oleh Professor Antonio Moreno Sandoval yang mengatakan bahwa di masa setelah pandemi, ChatGPT sudah menjadi tantangan tersendiri bagi para akademisi. Oleh karenanya, seorang akademisi tidak boleh lelah untuk selalu mengingatkan para mahasiswanya supaya tidak mengambil jalan pintas untuk mengerjakan tugas kuliah dengan bantuan kecerdasan buatan.
“Maka kami sebagai dosen harus mengingatkan mahasiswa agar lebih bijak dalam menggunakan teknologi ini,” paparnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, ChatGPT di desain hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan dasar yang masih harus dibuktikan lagi kebenarannya. Dengan kelemahan yang dimiliki oleh ChatGPT, apapun yang disajikan oleh mesin tersebut tidak boleh ditelan mentah-mentah, sehingga perlu melakukan cek fakta.
“Maka dari itu, banyak dosen dan juga profesor yang menyarankan mahasiswanya untuk tidak begantung kepada ChatGPT. Kami harus lebih kritis dan harus mengecek fakta yang sebenarnya,” paparnya.