Techverse.asia - Pemerintahan Joe Biden telah memberi tahu TikTok bahwa perusahaan induk China ByteDance harus menjual posisi kepemilikannya di aplikasi video format pendek itu yang saat ini populer atau menghadapi larangan di Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS menuntut divestasi atas dasar masalah keamanan nasional. Perintah ini muncul hanya beberapa hari sebelum CEO TikTok Shou Zi Chew akan bersaksi di depan Kongres.
Berita itu pertama kali dilaporkan oleh The Wall Street Journal. Komite Penanaman Modal Asing di AS (CFIUS), sebuah kelompok antarlembaga yang mengawasi risiko keamanan nasional yang dipimpin oleh Departemen Keuangan, “baru-baru ini” menuntut agar pemilik ByteDance di China melepaskan TikTok.
Anggota parlemen di AS (dan negara bagian lainnya) menganggap TikTok sebagai potensi ancaman terhadap privasi pengguna dan keamanan nasional mengingat kepemilikan aplikasi tersebut berlokasi di China. Ketakutannya adalah pemerintah China dapat mengakses informasi sensitif melalui TikTok.
Meski menurut TikTok, tidak pernah membagikan data pengguna dengan Partai Komunis China (PKC), TikTok juga mengatakan otoritas China belum membuat permintaan seperti itu.
Dalam sebuah pernyataan, Juru Bicara TikTok Hilary McQuaide mengatakan, jika melindungi keamanan nasional adalah tujuannya, divestasi tidak akan menyelesaikan masalah, Perubahan kepemilikan tidak akan memberlakukan pembatasan baru pada aliran atau akses data.
Menurut McQuaide, TikTok telah menanggapi kekhawatiran Pemerintah AS dengan memberlakukan perlindungan berbasis AS atas data dan sistem pengguna di AS dengan pemantauan, pemeriksaan, dan verifikasi pihak ketiga yang kuat.
Merespons tuntutan dari Pemerintah AS, CEO TikTok Shou Zi Chew telah mengklaim bahwa, jika ByteDance sebagai induk TikTok diminta untuk menjualnya, itu saja tidak akan cukup untuk mencegahnya dari pengawasan atas masalah keamanan. Chew membuat pernyataan menyusul laporan pada minggu ini bahwa pemerintah AS telah mengatakan kepada TikTok untuk melepaskan diri dari ByteDance atau menghadapi larangan nasional.
"Divestasi tidak menyelesaikan masalah, perubahan kepemilikan tidak akan memaksakan pembatasan baru pada aliran data atau akses," katanya kami kutip, Jumat (17/3/2023).
Ia mengklaim bahwa AS dan negara lain masih memiliki masalah dengan cara aplikasi menangani data pengguna jika memiliki pemilik yang berbeda. Pejabat telah menyatakan ketakutan bahwa China akan mendapatkan akses ke data pengguna yang terkait dengan penduduk mereka.
CEO TikTok Shou Zi Chew mengatakan kepada The Wall Street Journal bahwa, jika ByteDance yang berbasis di Beijing, China menjual TikTok, itu tidak akan memberikan lebih banyak perlindungan data di luar proyek yang sudah dikerjakannya. TikTok telah berjanji untuk melindungi data pengguna AS dari China dengan merutekannya melalui server Oracle domestik dan menerapkan perlindungan lain, seperti pengawasan pihak ketiga terhadap algoritme aplikasi.
Di AS, undang-undang yang diperkenalkan di Kongres akan memberi Presiden AS Joe Biden wewenang untuk melarang TikTok berdasarkan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional. Gedung Putih pekan lalu mengisyaratkan dukungannya terhadap RUU tersebut.
CEO TikTok Shou Zi Chew, yang ditunjuk oleh ByteDance untuk peran tersebut pada April 2021, dijadwalkan untuk hadir pada 23 Maret di hadapan Komite Energi dan Perdagangan DPR untuk memberikan kesaksian tentang privasi konsumen dan praktik keamanan data TikTok.
Ini bukan pertama kalinya politisi Amerika mencoba melarang TikTok. Di masa kepemimpinan Presiden Donald Trump, di bulan-bulan terakhir masa jabatannya sebagai presiden AS, mengeluarkan perintah eksekutif yang mengancam akan melarang TikTok di negara tersebut kecuali ByteDance menjual saham pengendali di TikTok kepada investor Amerika.
Namun, Pengadilan Federal AS memblokir perintah Trump tersebut. Lantas pada Juni 2021, Joe Biden secara resmi mencabut perintah eksekutif Trump yang berusaha melarang TikTok sambil meluncurkan penyelidikan terhadap aplikasi yang memiliki hubungan dengan "musuh asing" yang dapat menimbulkan risiko keamanan nasional atau privasi data.
TikTok, pertama kali diluncurkan pada tahun 2016, memasukkan aplikasi pendahulu Musical.ly setelah ByteDance mengakuisisi perusahaan tersebut. Kepemilikan TikTok di China telah membuat pemerintah di seluruh dunia mewaspadai aplikasi tersebut. India, misalnya, pada 2020 memblokir TikTok dan aplikasi China lainnya di negara tersebut.
Dalam upaya untuk mengatasi kekhawatiran Pemerintah AS, TikTok melalui Project Texas, membentuk divisi keamanan data yang berbasis di AS dan memiliki perjanjian dengan Oracle untuk menyimpan data aplikasi pengguna di AS kemampuan untuk meninjau kode aplikasi dan server serta membuat dewan pengawas untuk divisi keamanan AS (yang tidak tunduk pada kontrol ByteDance) yang terdiri dari tiga anggota yang akan disaring oleh CFIUS.
Menurut pengakuan TikTok sendiri, karyawan ByteDance telah menggunakan TikTok untuk memata-matai warga Amerika Serikat. Pada Desember 2022 kemarin, ByteDance mengatakan bahwa empat karyawannya melanggar kebijakan perusahaan dengan mengakses data pengguna TikTok AS secara tidak tepat, termasuk dua jurnalis, dalam upaya melacak sumber kebocoran informasi.
ByteDance menyatakan telah memecat keempat karyawannya tersebut, dua berbasis di AS dan dua di China. Investigasi internal ByteDance menemukan bahwa karyawan tersebut telah mengakses alamat internet dan data lain dari dua reporter AS melalui akun TikTok mereka untuk menentukan perkiraan lokasi mereka, dalam upaya untuk melihat apakah jurnalis tersebut sedang melakukan investigasi kepada staf ByteDance lainnya.