Associated Press dalam AP News melaporkan bahwa, seorang hakim federal di Brazil telah memerintahkan penangguhan sementara aplikasi perpesanan Telegram, Rabu (26/4/2023).
Perintah itu turun menyusul adanya dugaan kegagalan platform media sosial berlogo pesawat itu, untuk memberikan semua informasi yang diminta Polisi Federal pada grup obrolan neo-Nazi.
"Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari upaya negara melawan peningkatan terjadinya kekerasan di sekolah," tulis AP News, seperti kami kutip pada Minggu (30/4/2023).
Belakangan, beberapa pengguna Telegram di negara itu mengatakan mereka tidak bisa lagi menggunakan aplikasi perpesanan, setelah operator lokal mematuhi keputusan tersebut. Google dan Apple juga diperintahkan untuk memblokir aplikasi tersebut.
Hakim juga menaikkan denda harian untuk ketidakpatuhan menjadi 1 juta reais (sekitar $200.000), dari 100.000 reais sebelumnya, menurut keputusan yang diberikan oleh kantor pers Kementerian Kehakiman setempat.
Putusan dari pengadilan federal di negara bagian Espírito Santo mengatakan, fakta yang ditunjukkan oleh otoritas polisi menunjukkan tujuan yang jelas dari Telegram, untuk tidak bekerja sama dalam penyelidikan.
Soal penangguhan ini, polisi federal Brasil mengonfirmasi dalam sebuah pernyataan; dorongan untuk memblokir Telegram sudah berjalan.
Saat dihubungi oleh kantor media Associated Press, kantor pers Telegram tidak segera menanggapi email AP, yang meminta komentar mengenai apakah pihaknya mengetahui keputusan tersebut dan komunikasinya dengan Polisi Federal.
Untuk diketahui, secara kronologi, perkembangan penyelidikan yang berujung pemblokiran Telegram itu, terjadi ketika Brazil bergulat dengan gelombang serangan sekolah. Termasuk satu serangan pada November, di mana seorang pria dengan swastika disematkan di rompinya menembak dan menewaskan empat orang serta melukai 12 lainnya, di kota kecil Aracruz, wilayah negara bagian Espírito Santo.
"Brazil telah menyaksikan hampir dua lusin serangan atau episode kekerasan di sekolah sejak tahun 2000. Setengahnya terjadi dalam 12 bulan terakhir, termasuk pembunuhan empat anak di pusat penitipan anak pada 5 April," tulis AP.
Selanjutnya, pemerintah federal Brazil telah berusaha untuk membasmi kekerasan di sekolah dengan fokus khusus pada pengaruh media sosial yang dianggap jahat.
Regulasi platform media sosial adalah tema yang berulang selama pertemuan awal bulan ini antara Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, para menterinya, hakim agung, gubernur dan walikota. Tujuannya adalah untuk mencegah insiden lebih lanjut, terutama membuat platform bertanggung jawab karena gagal menghapus konten yang memicu kekerasan. Lula menyuarakan dukungannya terhadap regulasi ini.
Berbicara pada pertemuan 18 April, Hakim Agung Alexandre de Moraes menyebut media sosial sebagai 'tanah tak bertuan'. Yang mana, pengguna masih dapat melakukan tindakan dan ucapan yang ilegal dalam kehidupan nyata, dan peraturan tersebut diperlukan.
Tahun lalu, de Moraes memerintahkan penutupan Telegram secara nasional, dengan alasan Telegram tidak bekerja sama dengan pihak berwenang.
"Telegram berulang kali mengabaikan permintaan dari otoritas Brazil, termasuk permintaan polisi untuk memblokir profil dan memberikan informasi tentang pengguna. Dan memberikan waktu lima hari kepada Apple, Google, dan operator telepon Brasil untuk memblokir Telegram dari platform mereka," kata Moraes dalam putusannya.
Saat itu, salah satu pendiri Telegram mengeluarkan pernyataan yang mengatakan telah terjadi miskomunikasi karena alamat email yang sudah usang, dan kemudian meminta maaf kepada Mahkamah Agung atas kelalaiannya. Platform tidak diturunkan.
Mantan Presiden sayap kanan Jair Bolsonaro dan sekutunya, mendorong pengikutnya untuk bergabung dengan Telegram setelah Januari 2021. Itu adalah bulan yang sama dengan akun mantan Presiden AS Donald Trump ditangguhkan dari Twitter setelah kerusuhan 6 Januari di Capitol Hill.
Sementara itu dari laman The New York Times, perusahaan Telegram ternyata telah memberi tahu polisi bahwa grup tersebut telah dihapus, dan mereka tidak dapat memulihkan datanya.
Ini bukan kali pertama pemerintah Brazil 'menindak' platform media percakapan. Pada 2015 dan 2016, hakim lokal di Brasil menangguhkan WhatsApp sebanyak empat kali dalam situasi yang sama, tetapi keputusan tersebut dengan cepat dibatalkan.