Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan datang dan gaungnya telah dimulai sejak saat ini, misalnya kampanye terselubung dengan beragam strategi. Tak terkecuali lewat politik identitas. Sejumlah pakar dan pengamat akan mengulas lebih jauh, seberapa laku politik identitas dalam percaturan Pemilu kali ini? Simak rangkuman kami di bawah ini.
Kita mulai dari pandangan founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, yang kami kutip pada Kamis (11/5/2023).
Ismail mengatakan, hingga saat ini politik identitas masih digunakan oleh banyak tokoh politik, bahkan di masa menjelang tahapan Pemilu 2024 dimulai. Setidaknya itu terlihat dari penggunaan kata-kata atau frasa yang sama seperti tahun sebelumnya, yang berafiliasi pada pandangan politik tertentu. Misalnya, cebong, kadrun, kampret dan sejenis itu.
Penggunaan kata-kata itu, kemudian menjadi cara yang bisa membuat pihak yang satu membenci pihak lain, tanpa perlu menjelaskan dengan mendetail 'kenapa tokoh tersebut harus dibenci'.
"Meski demikian, yang saya lihat, politik identitas masih digunakan untuk menjatuhkan lawan, bukan untuk mempromosikan calonnya," ujar dosen Informatika Universitas Islam Indonesia ini.
Strategi lain yang sebetulnya bisa diperhatikan oleh tokoh politik adalah merangkul kelompok-kelompok yang ada dalam kategori niche. Mereka biasanya berkelompok atau komunitas-komunitas tertentu.
Ini bisa kita simak di media sosial, ada tokoh yang tadinya kalau berbicara atau berpendapat itu netral-netral saja, dan ia dekat atau berasal dari komunitas tertentu. Apa yang ia sampaikan adalah gagasan terkait dengan suara komunitas. Namun kemudian menjelang Pemilu, apa yang ia sampaikan mengarah ke tokoh tertentu, 'switch' isu.
Sementara itu, dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, Rizki Dian Nursita, mengatakan kalau isu politik identitas di beberapa negara masih digunakan dan masih memberi pengaruh pada hasil suara. Contohnya, politik identitas sempat berhasil membawa kemenangan bagi presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Demikian juga di India -meski masyarakat setempat mulai jenuh dan lelah-, politik identitas masih digunakan.
"Jadi, politik identitas itu masih akan ada, dianggap penting, tapi trennya menurun. Kecuali yang sifatnya naming dan labelling (contoh: kecebong, kadrun, kampret). Kalau terus-menerus dilakukan, itu sesuatu yang buruk," ungkapnya.
Rizki Dian menambahkan, kemudahan untuk menerapkan politik identitas di tengah masyarakat -khususnya Indonesia- salah satunya didukung dengan karakter kita yang mudah ditanamkan kata-kata singkat, karena mudah diingat dan mudah membekas.
Politik identitas yang dijalankan mungkin mengambil hal-hal yg mungkin jenaka, simpel tapi mudah diingat.
Misalnya, kalau kita pernah melihat humor di kolom komentar media sosial, ada yang mengetik 'isi pikirannya sekolam'. Dari kata kolam, masyarakat kembali mengingat naming dan labelling serupa kecebong, dan lain-lain.
Meski demikian Rizki Dian meyakini ada sisi masyarakat sudah mulai sadar dan lebih waspada dengan ini. Mereka sepenuhnya paham, kalau mereka terlalu terjebak dalam politik identitas, itu tidak ada gunanya.
"Yang kita perlu waspada ada ketika masyarakat itu ketika sudah terpengaruh oleh influencer tertentu, mereka biasanya jarang dan malas membaca. Maka inilah pentingnya literasi digital," pungkasnya.
Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof.Fathul Wahid menjelaskan, di era 70-an politik identitas dikaitkan dengan agenda aksi aktivisme politik, yang di dalamnya anggota kelompok berbasis identitas dan mobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan.
Identitas yang dimaksud dalam konteks ini antara lain didasarkan pada keadaan ras, minoritas, etnisitas, kelompok sosial terpinggirkan.
"Yang diperjuangkan saat itu adalah kesetaraan untuk semuanya, tanpa mengabaikan kepentingan bersama," tegasnya.
Dan yang menjadi pertanyaan hari ini, politik identitas yang dalam beberapa tahun belakangan sering menjadi diskusi: 'apakah politik identitas masih memuat frasa tanpa mengabaikan kepentingan bersama?'