Chief Strategy Officer Provetic, Syafiq Pontoh, menegaskan mengenai pola politik identitas yang saat ini sudah mulai terlihat. Ada tokoh politik yang kesannya masuk sebagai 'orang baru', tetapi sebetulnya kehadirannya hanyalah pengejawantahan tokoh lama.
"Siapa mereka? Mereka-mereka yang merasa politik identitas itu berhasil, padahal [hanya] di situ-situ saja. Terkait politik identitas dan sosok-sosok ini, ada orang yang terpengaruh, dan ada yang sudah tidak peduli lagi," lanjut dia, dalam keterangannya lewat jaringan Zoom, dikutip pada Jumat (12/5/2023).
Sementara itu, tagar populer dan kata kunci -yang menjadi 'penguasa' konten media sosial serta memengaruhi dinamika politik- di Indonesia saat ini, masih didominasi dengan kata kunci yang serupa dengan Pemilihan Umum 2019.
Baca Juga: Google Project Gameface: Mouse Bertenaga AI untuk Gamer Difabel, Cukup Gerakkan Kepala
Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, menyebutkan kata kunci tersebut antara lain seperti kecebong, kampret, kadrun.
Ismail menambahkan, hingga saat ini politik identitas masih digunakan oleh banyak tokoh politik, bahkan di masa menjelang tahapan Pemilu 2024 dimulai.
"Saya cermati, kata-kata itu masih menjadi kata kunci dan tagar populer di media sosial ya," ucapnya.
Penggunaan kata-kata itu, kemudian menjadi cara yang bisa membuat pihak yang satu membenci pihak lain, tanpa perlu menjelaskan dengan mendetail 'kenapa tokoh tersebut harus dibenci'.
Baca Juga: Ibu-Ibu Sering Jadi Korban Kejahatan Pinjaman Ilegal, Bukti Pentingnya Literasi Keuangan
"Meski demikian, yang saya lihat, politik identitas masih digunakan untuk menjatuhkan lawan, bukan untuk mempromosikan calonnya," ujar dosen Informatika Universitas Islam Indonesia ini.
Politik identitas tidak akan digunakan, kalau kampanye lewat 'janji program' cukup mumpuni
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Wawan Mas'udi menambahkan, sejarah penerapan politik identitas di Indonesia sangatlah panjang. Di masa lampau, politik identitas menjadi alat perjuangan.
"Di era moderen seperti sekarang ini sama sekali berbeda. Kalau sekarang [politik identitas] untuk berebut kekuasaan. Pertanyaannya bukan lagi relevan tidak relevan, tetapi seberapa kuat dan masif," kata dia.
Politik identitas nampaknya masih akan dipakai sebagai skenario atau strategi, tambahnya. Meski demikian apakah politik identitas ini akan dipakai atau tidak dalam persaingan, itu masih tergantung perkembangan yang terjadi.
Wawan meyakini, semua calon presiden dan wakil presiden yang mencalonkan diri akan memiliki strategi; mulai dari strategi 'malaikat' sampai strategi 'setan'. Namun nantinya hanya satu strategi yang benar-benar digunakan oleh tokoh-tokoh itu.
Strategi malaikat misalnya, pihaknya yakin semua calon bakal mengenalkan strategi programatik. Mulai dari yang berbau berbagai macam program, terkait infrastruktur, krisis iklim dan lainnya.
"Lalu nanti dilihat, kalau strategi program ini tidak efektif, baru mereka akan sasar untuk eksploitasi politik identitas," ucapnya.
"Tetapi kalau strategi programatik sukses, ya politik identitas tidak digunakan. Atau sebaliknya," terangnya.
Politik identitas di Indonesia, buah dari primordialisme
Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof.Fathul Wahid, mengutip tulisan Muhammad A.S. Hikam (2000) yang berjudul Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil Society.
Dalam bukunya, Hikam (2000) menulis, politik identitas yang didasarkan pada ikatan primordial akan dengan mudah menggantikan politik kewarganegaaan, dan wawasan kebangsaan menjadi terdesak. Yang mengkhawatirkan, lanjut Hikam, jika ini terjadi, maka negara akan semakin mendapat legitimasi untuk melakukan intervensi atas nama keamaan dan ketertiban sosial.
"Padahal dengan cara ini, negara menjadi semakin tidak netral atau bias terhadap kepentingan kelompok. Ujungnya adalah potensi keberbelahan sosial," tuturnya.
Karenanya, supaya hal ini tidak terjadi, dalam kontestasi politik, pluralitas perlu mendapatkan tempat dan bukan menonjolkan identitas, melainkan program kerja dan gagasan, serta menjaga semangat inklusivisme.
Bagaimana media sosial berperan? Untuk dipahami lebih dahulu, karakteristik media sosial meliputi anonimitas, jangkauan, viralitas. Konteks Indonesia, dari jumlah penduduknya yang sebanyak 276,4 juta orang (data BPS, terhitung Januari 2023), sebanyak 212,9 juta atau 77% di antaranya merupakan pengguna internet. Dengan sebanyak 60,4% atau 167 juta masyarakat adalah pengguna media sosial.
Pengguna internet bisa berada dalam status 'online' mereka dalam waktu 7 jam 42 menit per hari. Selain itu, aktif selama 3 jam 18 menit tiap hari, di media sosial.
Padahal, algoritma media sosial memiliki tiga sifat (Zuboff, 2019). Apa saja tiga sifat aktivitas di media sosial?
- Penyetelan (tuning): alur perilaku pada waktu dan lokasi yang tepat,
- Penggiringan (herding): melibatkan konteks terdekat pengguna media sosial untuk direspons,
- Pengondisian (conditioning): pengguna secara massal untuk melakukan tindakan tertentu.
"Algoritma pencarian -filter gelembung (bubble filter) yang mengisolasi kita-, dipengaruhi lokasi, klik terakhir, sejarah pencarian, dan lain-lain. Ini menimbulkan kamar gema, bias konfirmasi. Maka di sinilah perlu ada literasi digital yang cukup, selain kesadaran etis yang baik," ujarnya.