Bersamaan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum di Turki, pada 14 Mei 2023, Twitter mulai memblokir postingan di Turki. Kebijakan itu telah diumumkan sejak Jumat (12/5/2023).
"Menanggapi proses hukum dan untuk memastikan Twitter tetap tersedia bagi masyarakat Turki, kami telah mengambil tindakan untuk membatasi akses ke beberapa konten di Turki hari ini," demikian dicuitkan oleh Twitter, pada Jumat, dalam bahasa Inggris dan Turki.
"Kami telah memberi tahu pemegang akun tentang tindakan ini sesuai dengan kebijakan kami. Konten ini akan tetap tersedia di seluruh dunia," ketikan lanjutan dari admin akun tersebut.
Sementara itu, dicuitkan oleh akun Twitter Global Government Affairs: "Menanggapi proses hukum dan untuk memastikan Twitter tetap tersedia bagi masyarakat Turki, kami telah mengambil tindakan untuk membatasi akses ke beberapa konten di Turki hari ini."
Baca Juga: CfDS UGM: Buzzer di Media Sosial Harus Ditangani, Tapi Jangan Pakai Internet Shutdown Seperti 2019
Melansir Engadget, Twitter tidak mengatakan tweet mana yang diblokir, dan perusahaan tidak lagi mengoperasikan departemen komunikasi yang dapat dihubungi Engadget untuk informasi lebih lanjut. Demikian tulis media itu, dikutip pada Senin (15/5/2023).
Selanjutnya, keputusan agar pengguna burung biru mematuhi permintaan sensor dari telah membuat sejumlah pihak menyoroti keyakinan Elon Musk perihal kebebasan berbicara.
Dilaporkan oleh Seperti yang dicatat The Washington Post, pemilihan umum dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi Turki. Setelah dua dekade berkuasa, Recep Tayyip Erdogan menghadapi ancaman paling kredibel terhadap kepresidenannya dalam ingatan baru-baru ini.
Baca Juga: Maksimalkan Hasil Penjualan Lewat Jasa Buzzer, Jangan Pilih Yang Gampang Baper
Menjelang Pemilihan Umum kemarin, sebagian besar jajak pendapat menunjukkan pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu unggul tipis dari lawannya. Jika terpilih, Kilicdaroglu telah berjanji untuk membentuk kembali kebijakan dalam negeri negara tersebut.
Dikabarkan oleh CNBC pada hari ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan unggul sementara dalam pemilu Turki.
Ketua Dewan Pemilihan Umum Turki mengatakan hampir 92% suara telah dihitung dan Erdogan memimpin.
Erdogan memperoleh 49,49% suara. Sementara penantang utamanya, Kemal Kilicdaroglu, menerima 44,79%.
Kandidat presiden ketiga, Sinan Ogan, seorang ultra-nasionalis yang bersekutu dengan Erdogan, mendapat 5,29%.
"Suara masih dihitung" tegas Yener.
Jika tidak ada kandidat yang memenangkan mayoritas, mereka akan melakukan pemungutan suara kedua yang akan menjadi yang pertama bagi Erdogan. Pemilu kedua berlangsung kemungkinan 28 Mei 2023.
Mengenai adanya pembatasan sejumlah unggahan tertentu yang dilakukan oleh Twitter, mirip dengan patroli siber yang pernah diterapkan oleh pemerintah Republik Indonesia pada Pemilihan Umum 2019. Perbedaannya, kalau pada Pemilu Turki, kebijakan ini diambil oleh Twitter langsung.
Seorang peneliti di Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada, Zakiah Fadhila, mengungkap bahwa pada saat itu, kebijakan patroli siber memang baru diterapkan oleh beberapa daerah saja. Tujuannya, untuk menangkal hoaks.
Namun, pemerintah Indonesia juga kemudian turut mengawal agar hoaks tidak semakin masif tersebat, dengan mengambil kebijakan semacam 'internet shutdown'.
Pemilu 2019 diwarnai kericuhan, banyak di antaranya dikabarkan dalam framing hoaks. Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia saat itu, dalam konferensi persnya menjelaskan bahwa kericuhan kemudian disusul dengan persebaran video dan foto provokatif di media sosial. Lalu disebarkan lebih luas melalui aplikasi pengiriman pesan," jelas Zakiah.
Karena kericuhan ini, pemerintah memilih untuk membatasi hingga menghentikan penggunaan sosial media.
Kalau kamu masih ingat, di masa itu, sempat ada momen yang mana dalam sementara waktu persebaran video dan gambar di sejumlah media sosial jadi diperlambat hingga dihentikan. Sebut saja ketika kita mengunggah gambar foto atau video lewat Status Story WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Twitter.
Pemerintah beralasan, langkah itu bertujuan membatasi buzzer politik dalam menyebarkan hoaks yang dapat memperparah kericuhan.