Kasus bayi lahir dengan usus terburai atau alat pencernaan mereka berada di luar tubuh, tidak sedikit terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan solusi dari kalangan pemerhati kesehatan, praktisi dan akademisi.
Prihartini Widiyanti drg, menjadi salah satu orang yang berhasil menemukan metode pembuatan kantong silo sebagai penutup usus terburai pada bayi baru lahir, yang mengalami kasus gastroschisis. Invensi itu terdaftar sebagai hak paten dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada September 2022.
Temuan itu sempat ia kembangkan bersama dengan tiga mahasiswa Teknik Biomedis Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga bimbingannya, dalam penelitian mengembangkan kantong pembungkus atau lebih dikenal dengan Spring-Loaded Silo. Penelitian itu berhasil memperoleh pendanaan dari Dirjen Kemenristek Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksakta 2021 (PKM-RE).
Kantong tersebut nantinya membantu menutup usus serta organ lainnya, kemudian dokter ataupun perawat mengencangkan kantong untuk mendorong usus masuk kembali ke dalam rongga perut dengan bantuan gravitasi.
Baca Juga: Aman dan Sehat Mengonsumsi Daging Kurban, Kenapa Tidak? Begini Caranya
Didorong Oleh Kesulitan Mendapatkan Kantong Impor
Lebih lanjut, Yanti mengatakan bahwa sebenarnya produk penutup usus terburai untuk kasus gastroschisis telah ada di pasaran. Namun, produk yang diimpor dari Bogota itu kini tidak lagi terdistribusi, sebab produksinya yang telah lama terhenti.
"Kantong penutup untuk kasus gastroschisis ini sebelumnya memang sudah ada produksinya dari Bogota. Tetapi sekarang produksinya diskontinu, sehingga teman-teman dari klinis bedah anak mengalami kesulitan untuk mendapatkannya," kata Yanti, dalam keterangan resminya, dilansir Selasa (27/6/2023).
Kesulitan memperoleh produk untuk menangani gastroschisis itu, mendorongnya untuk melakukan penelitian dan pengembangan secara lebih lanjut. Hasilnya, ia menemukan metode pembuatan kantong silo berbahan kolagen berlapis kitosan.
Invensi berupa metode pembuatan kantong silo itu bermula dari penelitian yang telah Yanti lakukan sejak 2014. Selama itu, berbagai tahapan telah ia lalui. Mulai dari penelitian skala laboratorium, uji coba in vitro, uji fisik, uji biologis, hingga uji coba in vivo pada hewan ternak.
Baca Juga: Lebih dari 100.000 Data Kredensial ChatGPT Diretas dan Disebar di Dark Web
Selama perjalanan penelitian, Yanti mengaku sempat mengalami beberapa kendala. Hal itu, terutama berkaitan dengan bahan atau material yang harus diperoleh secara impor dan membutuhkan waktu untuk sampai ke tangannya.
"Keakuratan dalam menentukan metode yang benar juga menjadi salah satu tantangan. Untuk mematenkan metode ini, perlu proses panjang yang membutuhkan optimasi dan ketelitian tingkat tinggi," lanjut Ketua Departemen Teknik Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) UNAIR ini.
Risiko Kasus Gastroschicis di Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko Gastroschisis di Indonesia. Yaitu masih banyaknya kehamilan usia yang sangat muda akibat pernikahan usia dini, mengonsumsi obat obatan yang tidak dianjurkan dokter kandungan. Selain itu, kurangnya asupan gizi pada ibu hamil dan tingkat paritas tinggi yaitu semakin banyaknya kelahiran pada seorang ibu (atau ibu banyak melahirkan).
"Permasalahan gastroschisis hingga kini masih memprihatinkan, lantaran minimnya akses untuk penyembuhan," ungkapnya, seraya menyebut bahwa kondisi inilah yang kemudian memotivasinya.
Yanti yang juga aktif meneliti di Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR itu berharap agar invensinya dapat berdampak luas bagi masyarakat.