Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) telah mengumumkan rencana mengembangkan superkomputer baru, untuk membantu memajukan industri kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di negara tersebut.
Superkomputer baru (SC) akan dioperasikan oleh National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST).
Menurut Nikkei Asia, sumperkomputer ini juga akan terbuka untuk merek Jepang.
Proyek tersebut merupakan bagian dari upaya Jepang untuk tetap kompetitif dalam perlombaan AI global, demikian laporan Reuters, dikutip pada Selasa (25/7/2023).
Di laman berbeda, Hideki Murai menyatakan bahwa Jepang perlu segera meningkatkan data komputasi untuk bersaing menjadi pemimpin global dalam kecerdasan buatan.
"Prioritas utama pemerintah adalah daya komputasi. Kami merasa krisis yang nyata tentang hal itu," ungkap Murai, yang merupakan penasihat khusus Kecerdasan Buatan (AI) bagi Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, dilansir dari The Japan Times.
"Kami ingin menciptakan fondasi untuk era AI," tambahnya.
Jepang, negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, lamban berinvestasi di lapangan, dan tertinggal dari Amerika Serikat dalam infrastruktur komputer AI. Sekitar 3.000 perusahaan di Jepang, memiliki akses ke superkomputer di National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST) milik pemerintah, yang menawarkan daya komputasi 0,8 exaflops.
Itu hanya kurang dari sepersepuluh persen dari daya komputasi yang dapat diakses OpenAI -yang didukung Microsoft- ketika menciptakan chatbot ChatGPT, menurut Kementerian Perdagangan dan Industri Ekonomi Jepang.
Satu eksaflop setara dengan 1 kuintiliun - atau 1.000.000.000.000.000.000 - kalkulasi per detik.
Untuk mengatasi kekurangan itu, Jepang berencana meningkatkan daya komputasi di AIST menjadi 2,8 eksaflops pada akhir 2024. Selain itu, mereka akan memberikan subsidi kepada perusahaan seperti Sakura Internet dan SoftBank Corp untuk membangun superkomputer.
Baca Juga: Studi Menemukan, ChatGPT Bantu Tingkatkan Produktivitas dalam Kerja Kepenulisan
Pemerintah juga dapat menyediakan data untuk melatih AI, tetapi akan menyerahkannya kepada bisnis untuk membuat model AI yang akan mendorong inovasi, seperti yang diharapkan pemerintah Kishida.
Dalam laporan The Japan Times itu, Murai menilai strategi yang ia ungkap itu sama seperti cara Jepang mendukung superstar baseball Major League, Shohei Ohtani.
"Sepuluh tahun yang lalu, orang akan mencemooh gagasan pemain seperti Ohtani di liga utama, dan itulah mengapa kami bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan seseorang seperti dia muncul di bidang AI," katanya.
Saat Jepang mempertimbangkan cara terbaik untuk memanfaatkan AI, Jepang dan anggota negara demokrasi industri yang lain dari G7, sedang bergulat dengan cara mengurangi potensi gangguan sosial dan ekonomi yang juga dapat ditimbulkan.
Ia mengakui mungkin saja ada perbedaan pemikiran dan kebijakan seputar AI di antara negara-negara G7. Teteapi mereka bekerja sama untuk mengurangi jarak di antara negara-negara tersebut sebanyak mungkin.
Jepang condong ke aturan AI yang lebih lunak daripada Uni Eropa, yang telah meluncurkan upaya untuk meyakinkan negara-negara Asia untuk mengikuti langkah dalam hal persyaratan ketat; termasuk bahwa perusahaan teknologi mengungkapkan materi berhak cipta yang digunakan untuk menghasilkan konten AI.
Melansir Reuters, Uni Eropa ingin membuat Rancangan Undang-Undang AI mereka menjadi tolok ukur global pada teknologi yang berkembang pesat ini. Seperti halnya undang-undang perlindungan data mereka yang telah membantu membentuk standar privasi global.