Sejumlah pakar dan pemerhati mewaspadai sejumlah fenomena yang kerap muncul di platform digital, saat tahapan Pemilu berjalan. Bahkan menurut mereka, hal itu perlu diwaspadai sejak sekarang. Menjelang terselenggaranya Pemilu 2024 di Indonesia, salah satu fenomena yang hingga kini masih belum dapat terselesaikan secara tuntas adalah penyebaran kabar bohong (hoaks) lewat media sosial (medsos).
Misalnya seperti dikemukakan oleh Peneliti Center for Digital Society (CfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Faiz Rahman, Kamis (15/9/2022). Dalam penelitian yang dilakukan CfDS pada kurun 2019-2020 diketahui Indonesia punya potensi digital yang sangat besar. Ia mengutip laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif medsos di Indonesia ada sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Angka itu terus meningkat setiap tahunnya. Walau demikian, pertumbuhannya mengalami fluktuasi sejak 2014-2022. Kenaikan jumlah pengguna medsos tertinggi mencapai 34,2% pada 2017. Whatsapp menjadi kanal yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia, dengan persentase pengguna mencapai 88,7%. Disusul Instagram dan Facebook dengan persentase masing-masing sebesar 84,8% dan 81,3%. Sementara itu untuk pengguna TikTok ada sebanyak 63,1% dan Telegram mencapai 62,8%.
"Mungkin saat ini jumlahnya sudah bertambah lebih banyak lagi," kata dia.
Menurut Faiz, ranah digital merupakan sasaran empuk bagi peserta Pemilu untuk berlomba meraih suara. Apalagi saat ini rentang pengguna medsos di masa kini lebih luas dan banyak. Bukan hanya generasi muda, melainkan generasi yang lebih tua dan generasi yang jauh lebih muda di bawahnya.
"Ini potensi besar untuk memperkenalkan diri, meraih suara dan memenangkan pemilihan. Termasuk lewat penyebaran hate speech (ujaran kebencian), disinformasi. Dan semakin dekat Pemilu, jumlahnya semakin meningkat," terangnya.
"Diseminasi berita bohong itu 92,4% di medsos. Dan di medsos privat, ada potensi share (berbagi) berita bohong bisa dianggap kabar yang bisa dipercaya," terangnya.
Pasalnya, beberapa orang yang membaca berita bohong, mereka kemudian membagikannya kepada pengguna lain lewat sejumlah platform. Selain itu, informasi tersebut diunggah berulang dan dibagikan oleh lebih banyak pengguna.
Padahal, mirip seperti media massa, medsos nyatanya bisa memengaruhi perilaku dan opini penggunanya, secara tidak secara langsung. Hal itu dilakukan lewat berita maupun unggahan lain.
"Selama masa kampanye selalu ada isi medsos yang mengandung informasi bohong. Ada celah.Si calon ini dia melakukan aktivitas biasa, tapi sebetulnya itu sebuah iklan," tambahnya.
Faiz mengungkap, ada sejumlah permasalahan dan isu kampanye politik di medsos yang perlu jadi perhatian. Misalnya, disinformasi/misinformasi yang apabila diberikan secara terus-menerus kepada pengguna medsos, bisa lama-kelamaan membuat pengguna percaya bahwa itu berita benar.
"Karena sering diunggah, lalu pembaca berpikir 'Ini benar tidak ya? benar tidak ya?'," kata dia.
Selain itu, terkait algoritma media sosial, -yang membuat bagaimana konten tertentu bisa lewat di beranda berbeda antar pengguna medsos satu dengan lainnya- , perlu ada transparansi dan keterbukaan dari platform.
"Diperlukan pula transparansi dana kampanye, apalagi terkait pembayaran buzzer dan influencer. Platform mau tidak mau kita seret (ikutkan). Tidak bisa membiarkan mereka semaunya sendiri," terangnya.
Pemerhati Pemilu Indonesia dari Civil Society Organization (CSO), Muhammad Iqbal Khatami menerangkan, provokasi terjadi lewat Facebook yang pernah muncul telah mereka petakan. Dan tantangan kali ini adalah algoritma medsos yang berganti setiap bulannya, bahkan kurang dari jangka waktu itu. Sehingga, ini tantangan baru bagi penyelenggara dan pengawas Pemilu, ketika ada kandidat kampanye iklan di medsos.
"Penyelenggara Pemilu bisa kerjasama dengan Google, Meta. Karena mereka mindsetnya bisnis, mereka tak peduli itu iklan komersial atau kampanye," ucapnya.
Hoaks itu merupakan ancaman yang berbahaya dalam ekosistem bermedia sosial di sebuah negara, termasuk Indonesia. Yuk terus lawan hoaks!