Techverse.asia - Teknologi digital mengalami kemajuan yang begitu pesat, begitu pula dengan semakin besarnya peran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) pada dunia kerja dinilai bisa berdampak dengan banyaknya orang kehilangan pekerjaan.
Meski berbagai jenis pekerjaan di masa depan bisa menghadirkan relasi kerja serta peluang kerja baru, terutama bagi generasi muda. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan baru yang muncul pada masa depan banyak berbentuk hubungan kerja non-standar.
Baca Juga: TikTok Shop Resmi Tutup, Kemendag Dorong TikTok Patuhi Regulasi yang Berlaku
"Banyak pekerjaan baru yang belum diatur dengan baik di Indonesia dan rawan dieksploitasi. Belum lagi kemungkinan beberapa pekerjaan yang hilang akibat kemajuan teknologi," ungkap peneliti Center for Digital Society (CfDS) UGM, Nabiyla Risfa Izzati, dalam keterangan yang disampaikan pada Selasa (3/9/2023), mengenai hasil diskusi bertajuk “Masa Depan Dunia Kerja yang Berkeadilan di Era Digital”.
Menurut dia, perlu sebuah adaptasi di bidang hukum Indonesia dalam menlindungi serta menjamin masa depan dunia kerja secara nasional. Sebab, penting buat mereka - para pekerja - dalam memahami cara untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan di masa depan, utamanya soal hak dan kewajiban pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
"Pemerintah perlu menjamin dan melindungi masa depan dunia kerja nasional. Penting bagi para pekerja dalam memahami cara menghadapi pekerjaan masa depan, terutama tentang hak dan kewajiban kita dalam UU Ketenagakerjaan," ujarnya.
Baca Juga: Hasil Riset CfDS UGM Tentang Pemilu 2024: Bacapres Prabowo Subianto Paling Banyak Disebut di X
Anggota Serikat Pekerja Fisipol UGM, Suci Lestari Yuana tak menampik bahwa kehadiran teknologi informasi telah mengubah cara manusia bekerja, khususnya kaum pekerja, termasuk juga di lingkup pendidikan. Ini tidak sebatas untuk menunjang efisiensi serta efektivitas dalam pekerjaan, tapi juga digitalisasi yang berdampak terhadap hak-hak, perlindungan kerja, hingga kondisi kerja.
"Adanya teknologi informasi telah mengubah cara bekerja kaum pekerja, termasuk di lingkup universitas. Tidak sebatas untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pekerjaan, namun digitalisasi juga berdampak kepada tiga hal tersebut," katanya.
Ia menceritakan pada awal bulan ini, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM resmi mendirikan Serikat Pekerja Fisipol (SPF). Menurut Suci, SPF menjadi salah satu serikat pekerja pertama di UGM.
AI memang semakin menjadi tren yang diminati oleh banyak orang, banyak perusahaan, banyak organisasi, dan banyak aplikasi. Memiliki kemampuan untuk terus berkembang, menyesuaikan dengan masukan yang diterima dari para penggunanya, AI diperlihatkan menjadi teknologi yang bisa melakukan banyak hal.
Baca Juga: Center for Digital Society UGM Gandeng OJK Gelar Digitalk ke-57, Beri Edukasi tentang Fintek
Di tengah kemampuan AI yang seolah 'serba bisa', muncul keprihatinan dari banyak orang, menyoal kemampuan destruktif dari teknologi ini. Apa itu? AI menggantikan pekerjaan manusia. Dalam wawancara bersama media ABC News, CEO OpenAI, Sam Altman, menjelaskan ini dengan panjang lebar.
Altman mengatakan, AI kemungkinan akan menggantikan beberapa pekerjaan dalam waktu dekat, dan ia khawatir seberapa cepat itu bisa terjadi. "Saya pikir selama beberapa generasi, umat manusia telah membuktikan bahwa mereka dapat beradaptasi dengan luar biasa terhadap perubahan teknologi besar," ujarnya.
Altman kemudian mendorong orang untuk melihat ChatGPT lebih sebagai alat, bukan sebagai pengganti. "Kreativitas manusia tidak terbatas, dan kami menemukan pekerjaan baru. Kami menemukan hal baru untuk dilakukan," demikian Altman memberi penekanan.
Cara ChatGPT dapat digunakan sebagai alat untuk kemanusiaan lebih besar daripada risikonya, menurut Altman. "Kita semua dapat memiliki pendidik yang luar biasa di kantong kita yang disesuaikan untuk kita, yang membantu kita belajar," lanjutnya.
Baca Juga: CfDS UGM: Buzzer di Media Sosial Harus Ditangani, Tapi Jangan Pakai Internet Shutdown Seperti 2019