Techverse.asia - Volume transaksi perdagangan aset kripto mengalami penurunan sejak satu tahun terakhir. Pada 2021 volume transaksi perdagangan aset kripto tercatat mencapai Rp859,4 triliun, kemudian turun sebanyak 63 persen menjadi Rp306,4 triliun pada tahun lalu dan terus mengalami penurunan sampai saat ini, hingga September kemarin yang tercatat baru mencapai Rp94,4 triliun.
Merespons kondisi itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ingin juga menjelaskan tentang tingginya pajak menjadi salah satu faktor di balik penurunan volume transaksi aset kripto.
Chief Compliance Officer (CCO) Reku Roby menyampaikan, pelaku usaha sudah memproyeksi adanya penurunan tersebut. Sebagai pelaku exchange, Reku sudah menerima keluhan dari pengguna terkait dengan penerapan pajak sejak satu tahun yang lalu. Sehingga hal itu mendorong investor aset kripto beralih ke platform exchange di luar negeri.
"Yang patut menjadi perhatian bersama adalah platform exchange global yang menjadi sasaran investor kripto belum punya lisensi di Indonesia. Ini dapat berdampak negatif bukan hanya untuk pelaku usaha, tapi juga investor dan ekosistem kripto secara keseluruhan juga," ujar Roby, Rabu (8/11/2023).
Baca Juga: TCL Rilis 2 TV Ukuran Raksasa, Siap Bersaing di Pasar Big Screen
Menurutnya, kekinian penerapan pajak di Indonesia terbilang besar jika dibandingkan dengan negara lainnya. Besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) final yang dipungut serta disetorkan sebesar satu persen dari tarif PPN umum atau setara dengan 0,11 persen.
"Sementara penerapan PPN aset kripto tidak diberlakukan di banyak negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Brazil, dan Australia. Tingginya beban yang ditanggung oleh investor ini mengakibatkan capital outflow yang signifikan atau dikhawatirkan, transaksi tak lagi terjadi di Indonesia tapi di global. Masyarakat pun tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti halnya mereka bertransaksi di exchange lokal," paparnya.
Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Perdagangan Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) dan Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) berpendapat, perlu dan siap dilibatkan guna melanjutkan diskusi lebih lanjut tentang pajak serta keberadaan exchange ilegal.
"Persoalan ini menyangkut banyak pihak, jadi dibutuhkan kolaborasi antara pemangku kepentingan, sehingga tercipta industri yang sehat dan menguntungkan seluruh pelaku di ekosistem aset kripto Indonesia," katanya.
Baca Juga: Benua Asia Muncul Sebagai 'Surga' yang Menjanjikan di Tengah Musim Dingin Kripto
Di balik menurunnya volume transaksi aset kripto di Indonesia, para investor menunjukkan optimisme terhadap pasar dengan melakukan menahan aset atau sering disebut dengan hold on for dear life (hodl) terhadap aset kripto yang mereka miliki.
Crypto Analyst Reku Fahmi Multaqqin mengatakan bahwa peningkatan preferensi investor untuk menahan aset kripto mereka (hodl) selain disebabkan oleh faktor harga yang sedang menghijau dan semakin meningkatnya nilai kelangkaan beberapa aset kripto khususnya Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH).
Saat ini lebih dari 93 persen BTC telah ditambang dan jumlah ETH yang biasanya selalu naik, sekarang mengalami penurunan imbas transisi ETH ke sistem konsensus PoS. Meningkatkanya nilai kelangkaan pada BTC dan ETH menyebabkan investor lebih memilih untuk menyimpan aset kripto yang mereka miliki.
"Fenomena tersebut sebenarnya justru menggambarkan optimisme dan kepercayaan diri para investor, yang dapat menjadi modal penting bagi pasar kripto guna menjalani fase bullish yang berikutnya," ujarnya.
Baca Juga: Sekolah-Sekolah di El Salvador Akan Ajarkan Bitcoin
Peluang jangka pendek
Pada minggu ini, pasar kemungkinan akan mulai berspekulasi terhadap keputusan ETF bitcoin spot yang diajukan oleh Hashdex dan Franklin yang mana deadline pertamanya akan terjadi pada 17 November 2023 atau akhir pekan depan.
Selain itu, tanggal 21 November juga merupakan deadline kedua untuk ETF bitcoin spot yang diajukan oleh Global X yang sekaligus menjadi batas waktu (deadline) persetujuan terakhir untuk ETF bitcoin spot di tahun ini.
Meskipun keputusan terhadap pengajuan ETF tersebut masih belum dapat dipastikan, optimisme yang sempat berkembang imbas kemenangan Grayscale GBTC dan terdaftarnya Blackrock iShare di depositori NASDAQ, memperbesar optimisme terhadap ETF yang dapat berpotensi menyebabkan pasar kripto terapresiasi.
Baca Juga: Reku dan ABI Gelar Edukasi Tentang Kripto di 4 Kampus
Merespons optimisme pasar tersebut, Robby mengungkapkan bahwa pemangku kepentingan di ekosistem kripto perlu memperkuat aksi untuk guna mencegah semakin meningkatnya masyarakat Indonesia yang bertransaksi di platform exchange luar negeri yang tak terdaftar.
"Harapannya, mengenai perpajakan ini bisa segera didiskusikan bersama antar pelaku industri, asosiasi, dan regulator guna saling berbagi usulan serta mencari solusi yang lebih baik guna dalam penerapan regulasi yang ideal di ekosistem kripto," ujar dia.