Techverse.asia - Lagi, Spotify kembali melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk ketiga kalinya pada tahun ini. Ya, raksasa streaming musik asal Swedia ini resmi mengumumkan bahwa pihaknya memangkas 17 persen tenaga kerjanya, karena perusahaan tersebut berupaya menekan biaya.
Berdasarkan total jumlah karyawan sebanyak 9.241 orang yang terungkap dalam rilis pendapatan terakhirnya, maka PHK tersebut diperkirakan akan berdampak pada lebih dari 1.500 karyawan.
Dalam catatannya kepada karyawan pada 5 Desember 2023, pendiri dan CEO Spotify Daniel Ek mengatakan bahwa menentukan jumlah tenaga kerja yang tepat sangat penting bagi perusahaan untuk menghadapi “tantangan di masa depan.”
Ek menyatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan biaya adalah penyebab pemangkasan jumlah karyawan tersebut, yang menurutnya akan membuat Spotify menjadi perusahaan yang lebih ramping. Karyawan yang terkena dampak pun akan diberitahu hari ini juga.
Baca Juga: Bocoran Samsung Galaxy S24 Series: Material Titanium dan Layarnya Rata
Menurut Ek, karyawan yang terkena dampak PHK terbaru Spotify akan menerima pesangon sekitar lima bulan, dan selama waktu tersebut perusahaan akan terus menanggung biaya kesehatan mereka.
“Saya menyadari hal ini akan berdampak pada sejumlah individu yang telah memberikan kontribusi berharga. Terus terang, banyak orang cerdas, berbakat, dan pekerja keras yang akan meninggalkan kami,” tulisnya dalam catatan tersebut, yang kemudian dipublikasikan oleh perusahaan tersebut di blog kami lansir pada Selasa (5/12/2023).
“Saat ini, kami masih memiliki terlalu banyak orang yang berdedikasi untuk mendukung pekerjaan dan bahkan melakukan pekerjaan di sekitar pekerjaan dibandingkan memberikan kontribusi terhadap peluang dengan dampak nyata,” lanjutnya.
Dengan demikian, ini merupakan PHK besar-besaran ketiga yang dilakukan Spotify pada tahun ini. Pada Januari, perusahaan mengumumkan memberhentikan enam persen stafnya, atau sekitar 600 karyawan.
Baca Juga: Spotify Meluncurkan Kebijakan Royalti Streaming Baru
Kemudian, pada Juni, mereka mengumumkan telah mengurangi 200 orang lagi dari divisi siniarnya atau podcast. Selain memangkas biaya, Spotify juga mengambil langkah untuk meningkatkan pendapatan dan menaikkan harga di berbagai pasar, termasuk Amerika Serikat (AS).
Dalam hasil terbarunya, Spotify melaporkan laba sebesar €65 juta atau sekitar Rp1 triliunan selama tiga bulan hingga September - laba kuartal pertama selama lebih dari setahun - dibantu oleh kenaikan harga dan jumlah pelanggan yang lebih tinggi.
Meskipun penyedia streaming musik ini telah mencapai pertumbuhan pelanggan yang stabil, dengan 220 juta pelanggan berbayar, tapi Spotify ini terus berjuang untuk mendapatkan keuntungan.
Perusahaan teknologi ini telah berkembang di seluruh dunia dalam upayanya menjangkau satu miliar pengguna pada 2030. Saat ini Spotify tercatat memiliki 601 juta pengguna, naik dari 345 juta pada akhir 2020.
Namun terlepas dari kekuatan keseluruhan dalam jumlah pengguna dan pelanggan, serta pernyataan manajemen bahwa setiap wilayah melampaui ekspektasi, pertumbuhan pelanggan premium di Amerika Utara hanya sedikit dari kuartal ke kuartal.
Baca Juga: Ada Kesepkatan Rahasia, Google Akui Spotify Tak Bayar Biaya Play Store
Terdapat juga sedikit penurunan pendapatan rata-rata premi per pengguna (ARPU) pada kuartal ketiga dari tahun ke tahun, dengan perkiraan pada kuartal keempat menunjukkan adanya tantangan yang terus berlanjut akibat pergeseran geografis dan bauran produk.
“Saya menyadari bahwa bagi banyak orang, pengurangan sebesar ini akan terasa sangat besar mengingat laporan pendapatan positif dan kinerja kami baru-baru ini. Kami berdebat untuk melakukan pengurangan yang lebih kecil sepanjang tahun 2024 dan 2025,” katanya.
Namun, mengingat kesenjangan antara tujuan keuangan perusahaan dan biaya operasionalnya saat ini, maka dia memutuskan bahwa tindakan substansial untuk menyesuaikan biaya adalah pilihan terbaik untuk mencapai tujuannya.
Baca Juga: Review Film Napoleon: Miskonsepsi Perang Antara Negara-negara Besar
Industri-industri secara global mengalami PHK yang signifikan pada tahun ini, dengan total lebih dari 225 ribu karyawan, yang didorong oleh ketidakstabilan ekonomi, suku bunga yang lebih tinggi, dan pola konsumen yang terus berubah.
Sektor teknologi, termasuk perusahaan-perusahaan seperti Amazon, Google, Meta, Twitter dan Netflix, menghadapi pengurangan yang signifikan, sehingga memperburuk kegelisahan ekonomi di kalangan karyawan.