Sebagai bagian dari wilayah Indonesia, Provinsi Lampung menjadi salah satu wilayah penghasil lada terbaik. Tapi ternyata, ada kisah kelam yang membersamai hasil tani lada dan perdagangan rempah istimewa itu di Bumi Ruwa Jurai.
Sebelumnya, provinsi yang penduduk aslinya menganut adat Pepadun dan Saibatin itu sudah tersohor menjadi daerah penghasil lada. Petani setempat dikenal memiliki kemampuan baik dalam mengelola ladang lada. Namun, kedatangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie alias VOC mengubah ekosistem pertanian dan perdagangan lada di Lampung.
Baca Juga: Belum Ada Kurir dan Driver Yang Benar-benar Bekerja Dengan Layak, Di Indonesia
Di masa kolonial Belanda, sekitar 1830-1870, para petani lada di sana diwajibkan untuk menanam lada dalam program cultuurstelsel (tanam paksa). Belanda juga memonopoli perdagangan lada dengan mengharuskan petani menjual lada kepada pemerintah kolonial, melalui kepala-kepala marga.
Melalui kepala-kepala marga tersebut, pemerintah Hindia-Belanda mendapatkan lada. Selanjutnya, lada-lada tersebut dijual oleh 'kumpeni' di pasaran internasional. Sebuah tulisan dalam Jejak, -Jurnal Pendidkan Sejarah & Sejarah FKIP Universitas Jambi-, diterbitkan pada 2021, menuliskan kronologi ini.
Sejarah dan Masyarakat Lokal Perlu Saling Terhubung
Sejarah lokal tersebut, bertahun-tahun kemudian dirasa perlu untuk dipelajari oleh anak-anak di masa sekarang. Masyarakat dan sejarah perlu saling terhubung karena hal itu dapat membangun kesadaran sejarah lokal.
Menyadari pentingnya pembelajaran sejarah lokal Lampung serta melihat perkembangan teknologi dan komunikasi, tim Program Kreatif Mahasiswa (PKM) pada skim Riset Sosial Humaniora (RSH) Universitas Lampung (Unila) melihat ada potensi untuk ikut mengoptimalkan pembelajaran sejarah lokal Lampung di daerah Semaka, Seputih, Sekampung, dan Tulangbawang. Untuk diketahui, empat daerah tersebut merupakan daerah penerapan kebijakan cultuurstelsel pada masa pemerintah Hindia-Belanda di Lampung. Kekuasaan Belanda di Lampung kala itu berpusat di Tulang Bawang.
Baca Juga: Mengenal Digital Forensik, Keahlian Era Digital Yang Bantu Kanwil DJP DIY Penjarakan Penjahat Pajak
Melalui program yang diselenggarakan Kemendikbudristek tersebut, Tim PKM-RSH Unila yang berperan adalah Elsa Dara Puspita (Pendidikan Sejarah ‘20), Ajeng Diah Kinanti (Pendidikan Sejarah ‘19), Rafif Afriansyah (Pendidikan Geografi ‘20), dan Retno Wuri Handayani (Pendidikan Teknologi Informasi ‘20).
Tim ini mengembangkan penelitian pembelajaran sejarah lokal Lampung berbasis Augmented Reality (AR). Pembelajaran itu mereka terapkan di SMAN 1 Semaka, BPS Kabupaten Tanggamus, dan Museum Kekhatuan Semaka, sejak Juni hingga September 2022.
Augmented reality (AR) merupakan teknologi berupa penggabungan secara real-time objek 2D menjadi 3D yang diproyeksikan terhadap dunia nyata.
Baca Juga: Pegawai Negeri Perlu Bertransformasi, Nokia dan UNESCO Rekomendasikan Tiga Hal Utama Ini
Dosen pembimbing tim, Yusuf Perdana mengungkap, adanya teknologi augmented reality yang diimplementasikan dalam pembelajaran sejarah lokal Lampung menjadi sebuah terobosan baru yang inovatif.
'Kita ketahui bersama, bahan ajar yang berkaitan dengan sejarah lokal sangat minim di daerah Tanggamus, sedangkan di wilayah tersebut sangat erat dengan sejarah lokal,” ujarnya, dikutip Techverse, pada Selasa (27/9/2022).
Ketua Tim PKM-RSH Unila Elsa Dara Puspita menjelaskan, potensi sejarah lokal di daerah Tanggamus, khususnya daerah Semaka, sangat relevan diimplementasikan dalam pembelajaran sejarah lokal karena akan menambah wawasan sejarah lokal bagi peserta didik di daerah Semaka.
Baca Juga: Dibantu Mahasiswa UNY, Digitalisasi Bikin Bisnis Kue Lapis Tambah Manis
Elsa juga berharap, melalui penelitian ini generasi penerus dapat mengenal sejarah daerahnya dengan baik sehingga bangga dengan daerah tempat tinggalnya.
Sementara itu, Kepala SMAN 1 Semaka Sumarno mengungkap, inovasi menggabungkan konsep sejarah lokal Lampung dengan teknologi berbasis augmented reality, belum pernah diterapkan di SMAN 1 Semaka.
Ia berharap penelitian ini menjadi penyemangat peserta didik, untuk terus mempelajari sejarah lokal Lampung, khususnya daerah Semaka, sebagai salah satu daerah penerapan kebijakan tanam paksa di Lampung.