Techverse.asia - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, mendorong para peneliti di kampus untuk menghasilkan banyak inovasi teknologi teknik rekayasa gempa untuk mendukung konstruksi pembangunan rumah, bangunan dan infrastruktur tahan gempa. Pasalnya, menurut Basuki, Indonesia merupakan negara yang berada di daerah kawasan bencana terutama pada bencana gempa bumi.
Ia menyebutkan setiap kejadian bencana gempa bumi yang melanda tanah air selama ini banyak menelan korban jiwa dan kerugian materi akibat kerusakan bangunan rumah penduduk dan bangunan milik pemerintah. Hal itu disampaikan Menteri Basuki saat menyampaikan pidato secara daring dalam Konferensi Internasional tentang Rekayasa Gempa (ICEEDMS) ke-5, pada Rabu (28/9/2022) di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Basuki menyebutkan beberapa kejadian bencana gempa bumi yang pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir seperti gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006, gempa bumi di Aceh tahun 2016, Gempa Lombok NTB tahun 2018, gempa Palu tahun 2018 dan Gempa Mamuju tahun 2021.
“Negara ini rentan terkena bencana gempa bumi. Pemerintah menyiasatinya dengan menyiapkan desain bangunan dan infrastruktur yang tahan gempa dengan ukuran sesuai dengan konsep mitigasi bencana,” katanya.
Kementerian PUPR, lanjutnya, untuk mengantisipasi risiko kerusakan akibat gempa bumi terus melakukan kegiatan mitigasi pada proyek pembangunan perumahan dan proyek pembangunan infrastruktur dengan konsep desain tahan terhadap goncangan gempa bumi. Bahkan, berbagai proyek bendungan dan jembatan juga menggunakan konstruksi tahan gempa.
“Dari desain bangunan jembatan, DAM hingga konstruksi infrastruktur lepas pantai. Kami selalu melakukan evaluasi kinerja seismik dan menerapkan rehabilitasi struktur bangunan dengan desain tahan gempa,” ujarnya.
Basuki sempat menyebutkan jembatan Holtekamp yang berada di teluk Youtefa, Jayapura, Papua dan jembatan Merah Putih yang berada di Teluk Dalam, Kota Ambon, Maluku, sebagai salah satu proyek pembangunan jembatan yang menggunakan struktur dan konstruksi tahan gempa.
Selain itu, Basuki sempat menyinggung di berbagai kota besar di Indonesia saat ini bermunculan bangunan bertingkat yang diharuskan menggunakan konstruksi bangunan tahan gempa. Termasuk pembangunan asrama mahasiswa hingga pembangunan Rumah Instan Sederhana dan Sehat (RISHA) sebagai perwujudan sebuah rumah dengan desain modular, dimana dapat diubah-ubah atau dikembangkan sesuai dengan keinginan penghuninya.
“Rumah sederhana tersebut mampu dibangun dengan cepat dan memiliki kemampuan tahan gempa,” ujar dia.
Dalam kesempatan itu, Basuki menilai desain bangunan dan infrastruktur tahan gempa selalu mengalami perkembangan sehingga perlu sinergi antara pemerintah dengan para peneliti di Kampus.
“Saya melihat perlu ada harmoni dan sinergi antara riset teknik rekayasa gempa, pihak industri dan pemerintah untuk mendukung kegiatan mitigasi kegempaan baik di Indonesia dan di negara lainnya,” katanya.
Sementara itu, Profesor Jonathan Bray dari Universitas California Amerika Serikat menuturkan tingkat kerusakan bangunan saat terjadi gempa dipengaruhi kekakuan material tanah di permukaan, kondisi batuan keras sampai lunak, kedalaman batuan dasar untuk rasio impedansi.
“Kekakuan dan redaman material nonlinier berpengaruh pada regangan geser dengan intensitas goncangan,” katanya.
Sedangkan Profesor Koichi Kusunoki dari Universitas Tokyo Jepang mengatakan upaya pengurangan risiko dan peningkatan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana dapat dilakukan dalam bentuk mengurangi tingkat kerusakan melalui desain rumah dan bangunan tahan gempa, kemampuan pemerintah dalam menyelidiki tingkat kerusakan dengan cepat dan kemampuan merekonstruksi dengan cepat.