Para peneliti di divisi Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL), lembaga riset di Massachusetts Institute of Technology (MIT), membangun dua algoritma machine learning yang dapat mendeteksi kanker pankreas.
Keberhasilan deteksi itu berfokus pada teknik komputer dan pengembangan kecerdasan buatan (AI), dengan ambang batas yang lebih tinggi daripada standar diagnostik saat ini.
Baca Juga: La Roche Posay Effaclar Duo+M Punya Inovasi Baru, dengan Mikrobioma
Kedua model tersebut bersama-sama dibentuk untuk menciptakan jaringan saraf 'PRISM'. Alat ini dirancang untuk secara khusus mendeteksi adenokarsinoma duktal pankreas (PDAC), bentuk kanker pankreas yang paling umum.
Kriteria skrining PDAC standar saat ini mencakup sekitar 10% kasus pada pasien yang diperiksa oleh profesional. Sebagai perbandingan, PRISM MIT mampu mengidentifikasi kasus PDAC sebanyak 35%.
Meskipun penggunaan AI dalam bidang diagnostik bukanlah hal baru, PRISM MIT menonjol karena cara pengembangannya.
Baca Juga: Shopee Jadi E-Commerce Pilihan Milenial untuk Belanja Online
Baca Juga: Pikachu's Indonesia Journey: Bisa Tangkap Pikcahu Pakai Batik di Pokemon Go
"Jaringan saraf diprogram berdasarkan akses ke beragam kumpulan catatan kesehatan elektronik nyata dari institusi kesehatan di seluruh Amerika Serikat," ungkap laman Engadget, dilansir Minggu (14/1/2024).
Data tersebut berisi data lebih dari 5 juta catatan kesehatan elektronik pasien, yang menurut para peneliti melampaui skala informasi yang dimasukkan ke model AI dalam bidang penelitian khusus ini.
Penulis senior riset itu di CSAIL MIT, Kai Jia, menerangkan bahwa model ini menggunakan data klinis dan laboratorium rutin untuk membuat prediksi.
Keragaman populasi Amerika Serikat merupakan kemajuan yang signifikan dibandingkan model PDAC lainnya, yang biasanya terbatas pada wilayah geografis tertentu, seperti beberapa pusat kesehatan di Amerika Serikat.
Baca Juga: Daftar Rekomendasi Destinasi Wisata Versi Lion Air, Untuk Mengisi 26 Tanggal Merah Tahun Ini
Proyek PRISM MIT dimulai lebih dari enam tahun lalu. Motivasi di balik pengembangan algoritma yang dapat mendeteksi PDAC sejak dini, sangat berkaitan dengan fakta bahwa sebagian besar pasien didiagnosis pada tahap akhir perkembangan kanker; khususnya sekitar 80% terlambat didiagnosis.
"AI bekerja dengan menganalisis demografi pasien, diagnosis sebelumnya, pengobatan saat ini dan sebelumnya dalam rencana perawatan dan hasil laboratorium," ujar Kai Jia.
Secara kolektif, model ini berfungsi untuk memprediksi kemungkinan kanker dengan menganalisis data catatan kesehatan elektronik, dipadukan dengan data usia pasien dan faktor risiko tertentu yang terlihat dalam gaya hidup mereka.
Namun, PRISM masih mampu membantu mendiagnosis pasien sebanyak mungkin dengan kecepatan yang dapat dijangkau AI secara luas.
Saat ini, teknologi tersebut terikat pada laboratorium MIT dan pasien terpilih di Amerika Serikat. Tantangan logistik dalam menskalakan AI, akan melibatkan pemberian kumpulan data yang lebih beragam kepada algoritma, bahkan mungkin profil kesehatan global untuk meningkatkan aksesibilitas.
Baca Juga: Loreal Air Light Pro: Pengering Rambut yang Gunakan Cahaya Inframerah
Baca Juga: Yamaha Lexi LX 155 Resmi Dipasarkan di Indonesia, Ada 3 Tipe
Meskipun demikian, ini bukanlah upaya pertama MIT dalam mengembangkan model AI yang dapat memprediksi risiko kanker.
MIT telah mengembangkan cara untuk melatih model bagaimana memprediksi risiko kanker payudara di kalangan wanita menggunakan catatan mammogram.
Dalam penelitian tersebut, para ahli MIT menegaskan, semakin beragam kumpulan data, semakin baik AI dalam mendiagnosis kanker di berbagai ras dan populasi.
Dan jangan lupakan Sybil, penggunaan AI dalam perangkat yang bisa mendeteksi kanker paru-paru.
Pengembangan berkelanjutan dari model AI, yang dapat memprediksi kemungkinan kanker, tidak hanya akan meningkatkan hasil bagi pasien jika keganasan teridentifikasi lebih awal.
Tetapi juga akan mengurangi beban kerja para profesional medis yang bekerja terlalu keras.